Tidak hanya orang Minang, yang memiliki sajian khas nasi Padang di berbagai kota bahkan desa. Pun dengan kuliner khas Jawa yang bernama bakso. Sajian populer yang digemari berbagai kalangan ini juga ada di berbagai daerah, bahkan hingga pelosok desa. Siapa sangka, ternyata rata-rata para penjual bakso ini berasal dari Jawa.
Khususnya di Jawa Barat dan Banten, yang notabene adalah wilayah Sunda. Jika kita ingat, ada kisah kelam yang terjadi kala Majapahit hendak menguasai wilayah (Sunda) ini. Dengan hasil kegagalan Mahapatih Gajah Mada dalam peristiwa Tegal Bubat, yang justru membuat pasukannya tidak dapat melanjutkan ekspedisi Sunda lagi. Hingga berkembang berbagai kisah yang konon membuat sekat antara orang Jawa dengan Sunda.
Namun menariknya, justru melalui bakso, nikmatnya kuliner khas Jawa ini dapat menjadi idaman bagi masyarakat Sunda. Dengan cita rasa khasnya, yang dipadu dengan racikan rempah rahasia turun temurun. Bahkan, di Serang, Banten, banyak ditemui bakso khas Solo yang merajai pasaran kuliner dengan harga merakyat.
Uniknya, para penjualnya pun juga diamanatkan secara turun temurun. Seperti yang penulis temui. Jadi, kita dapat simpulkan sendiri, bagaimana ekspedisi militer berubah menjadi ekspedisi kuliner yang merambah di berbagai pelosok tanah Sunda. Bahkan dari Sabang sampai Merauke, semua kenal bakso.
Sebenarnya racikan bumbunya pun sama dengan bakso pada umumnya. Baik ragam bumbu dan topping pelengkap sajiannya. Lantas apa yang menarik?
Seandainya dahulu Majapahit memperkenalkan kedaulatannya melalui pendekatan kuliner, mungkin akan beda kisah sejarahnya. Inilah kisah kuliner Nusantara yang sejati. Lantaran konon bakso telah dikenal sejak abad ke 14 M, melalui kegiatan perdagangan dengan China. Sajian bulatan daging lembut ini pun dikenal masyarakat Nusantara. Kira-kira pada masa kejayaan Majapahit.
Masyarakat Indonesia lebih familiar dengan ragam kulinernya yang khas, terlebih bakso. Segala macam persoalan kerap cair dalam semangkuk bakso yang penuh dengan rasa. Apalagi dapat disajikan dengan minuman segar. Sudah pasti makin melelehkan suasana hati yang gundah.
Apalagi saat ini bakso telah berkembang menjadi sajian yang ikonik dengan ciri khasnya masing-masing. Misal, ada bakso rusuk, bakso urat, bakso iga, bakso bakar, bakso mercon, atau bakso bomber. Semua dapat dikreasikan sesuai selera penggemarnya. Tidak menutup kemungkinan, pada beberapa restoran, menu bakso kerap dijadikan sajian andalannya.
Bakso Pakdhe ini terkenal karena mie olahan sendiri, apalagi bakso uratnya yang selalu menjadi primadona. Daging cincangnya pun memiliki tekstur yang lain, karena ada banyak tulang muda yang tersaji pada setiap baksonya. Lokasinya tidak jauh dari pasar Petir, tepat di sebelah kanan jalan, sebelum jembatan menuju Tunjung, Rangkasbitung.
Lantaran lokasinya yang dekat dengan jalan utama. Dapat kiranya untuk sekedar mampir menikmati sajian bakso Pakdhe yang melegenda di daerah ini.
Disini, masyarakat sekitar pasar Petir memang sudah sangat familiar dengan bakso Pakdhe. Ada juga sajian mie ayam, yang tak kalah enak. Sajiannya pun sederhana, namun membuat para pengunjung sering "nambah", dengan porsi yang dapat disesuaikan.
Apakah silsilah keluarga Pakdhe adalah utusan Majapahit? Saya rasa bukan. Karena Pakdhe sendiri tidak tahu persis peristiwa Tegal Bubat yang melegenda itu. Jadi bakso dan Perang Bubat adalah dua elemen yang berbeda ya. Walau identifikasi sejarahnya dapat dikatakan sezaman.
Kiranya demikian kisah tentang bakso pemersatu bangsa. Melalui pendekatan sejarah yang dapat membuat kita dapat berpikir sejenak. Apa benar demikian...
Salam damai, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H