Pernahkah kita ketahui, betapa beratnya perjuangan para pahlawan bangsa dahulu kala dalam menghadapi Belanda? Apalagi aksi-aksi militer Belanda selalu dilakukan pada bulan suci umat Islam, Ramadhan. Hal ini dapat dianggap sebagai strategi Belanda dalam menghancurkan moril para pejuang. Tapi, faktanya justru sebaliknya. Belanda justru menghadapi kekuatan besar yang tiada tara.
Belum lagi kondisi rakyat Indonesia, yang kala itu rata-rata masih dalam kesulitan ekonomi. Aksi militer Belanda 1 justru terjadi pada bulan Ramadhan 1366 H, atau pada bulan Juli 1947. Tanggal 19 Juli, pada permulaan puasa, rakyat Indonesia sudah dihadapkan dengan berbagai desas-desus akan diadakannya serangan besar-besaran ke wilayah ekonomi Belanda.
Tujuannya ya tentu mengambil alih kembali aset-aset ekonomi Belanda pasca kemerdekaan Indonesia. Aset yang dinasionalisasi itu yang menjadi target utama mereka. Maka Agresi Militer Belanda 1 ini juga dikenal dengan istilah Operatie Product. Targetnya adalah wilayah Jawa dan Sumatera, yang menjadi basis ekonomi Belanda di masa lalu.
Namun, aksi militer tersebut tidaklah berjalan dengan lancar. Lantaran para pejuang justru tidak jatuh morilnya, walau mereka tengah menjalankan ibadah puasa. Khususnya dari milisi Hizbullah, yang berjuang atas panji agama, ketika berhadapan dengan Belanda. Tidak tanggung-tanggung, semangat jihad fi sabilillah pun terseru dalam barisan pejuang Islam tersebut.
Juga dengan rakyat Indonesia, yang kiranya tidak dapat memeriahkan bulan Ramadhan dengan keceriaan seperti kita saat ini. Rakyat tengah hidup prihatin pada era transisi ini. Masa revolusi yang kerap digaungkan oleh Bung Karno dalam berbagai pidatonya, bahwa tidak sekalipun rakyat mengeluh dalam kondisi berjuang, walau tengah menjalankan Hari Rayanya.
Tidak ada kemeriahaan, apalagi buka bersama dengan berbagai macam makanan yang tersaji. Sekedar tiwul atau aking saja sudah cukup membuat mereka bahagia. Umbi-umbian sudah menjadi barang mahal nan favorit yang dapat tersaji dalam menu berbuka. Tetapi tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan mereka saja.
Rakyat Indonesia pun banyak yang memberi kontribusi logistik bagi para pejuang Republik. Maka tidak heran jika aksi gerilya para pejuang kerap dilakukan pada waktu malam hari. Jika berhadapan secara terbuka, tentu akan merugikan para pejuang, yang kalah dalam persenjataan. Namun, "jika bergerilya dengan strategi hit and run, tentu ada peluang untuk menang", ungkap A.H. Nasution.
Front Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah medan pertempuran yang sangat terbuka bagi Belanda. Selain kondisi geografisnya yang juga menguntungkan bagi para pejuang untuk gerilya. Kiranya posisinya dapat dikatakan imbang dalam atur siasat. Hanya faktor senjata saja yang kerap menjadi penentu sebuah pertempuran.
Bahkan, Belanda kerap melakukan aksi pembakaran terhadap kampung-kampung yang ditengarai memberi dukungan kepada para pejuang. Aksi kekerasan yang sepatutnya tidak dilakukan terhadap rakyat yang tengah menjalankan ibadah puasa. Apa lacur, masa revolusi harus dihadapi dengan segenap jiwa raga yang berkobar demi bangsa.
Mungkin para pejuang dahulu sudah memperkenalkan istilah "bukber", ketika senja mulai menjelang. Usai maghrib, menu berbuka berupa air putih atau air kelapa sudah jadi minuman istimewa pelepas dahaga. Kita tentu dapat ambil sisi positif dalam semangat para pejuang ketika melaksanakan ibadah puasa. Walau tidak seluruhnya berlaku demikian.
Kondisi situasi (pertempuran) yang tidak dapat diprediksi tentu saja menjadi alasannya. Belum lagi rakyat yang selalu diintai oleh mata-mata Belanda. Sudah cukup untuk memberikan bukti, bahwa berbuka dengan buah-buahan dari hasil ladang dan hutan, sudah cukup untuk disajikan pada satu kompi pasukan pejuang.
Bahkan di Hari Raya Idul Fitri yang berlangsung pada tanggal 18 Agustus 1947, tidak diketahui adanya suatu perayaan akbar. Lantaran kala itu Belanda sudah berhasil menguasai berbagai kota-kota penting di wilayah Indonesia. Perayaan ala kadarnya bagi lingkungan keluarga kala itu sudah dapat memancing mata-mata Belanda untuk melakukan pembubaran.
Apalagi anak-anak, jika kedapatan berkelompok, sudah dapat dipastikan akan ditangkap. Terlebih jika membawa sarung untuk sekedar mainan, karena akan terindikasi sebagai alat angkut logistik bagi para pejuang. Jangan harap akan ada aksi perang sarung, belum ada kiranya dulu. Bahkan ketika sholat Ied pun harus dilakukan dengan pemeriksaan ketat oleh Belanda.
Jadi, jangan sampai kita kalah selama berjuang di bulan Ramadhan. Kiranya kita dapat belajar dari sejarah bangsa di masa lalu. Bukan lantaran hanya dapat menu berbuka alakadarnya, mensyukuri atas nikmat yang diberi oleh Allah SWT, patutnya sudah cukup untuk kita nikmati hari ini. Salam damai, terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H