Sosok Syafruddin Prawiranegara memang sangat melekat dengan peristiwa pembentukkan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat. Kala itu memang Republik Indonesia tengah mengadapi ancaman Agresi Militer Belanda II dengan target para pemimpin Republik untuk ditangkap dan diasingkan.
Hingga pada bulan Desember 1949, Belanda pun akhirnya takluk pada Perundingan KMB, walau secara politis tetap berupaya dalam mempengaruhi Indonesia. Baik melalui pergolakan kedaerahan yang didukungnya, ataupun upaya mempertahankan Papua dengan aksi militeristiknya. Tentu hal itu kiranya memberi dampak negatif bagi Pemerintahan Republik Indonesia.
Tatkala Indonesia menerapkan sistem Pemerintahan Demokrasi Parlementer, Syafruddin Prawiranegara didaulat untuk menempati jabatan sebagai Menteri Muda Keuangan Indonesia I. Dimana kala itu beliau ditugasi untuk mendistribusikan Oerang Republik Indonesia (ORI) sebagai alat pembayaran yang sah. Menggantikan uang Jepang ataupun uang yang diedarkan oleh Belanda.
Tetapi hal itu tidaklah mudah, apalagi kondisi Indonesia pasca terlibat perang dapat dikatakan tengah terpuruk. Khususnya dalam sektor ekonomi. Bahkan terjadi inflasi yang membuat barang kebutuhan pokok kerap melambung tinggi. Maka kemudian, beliau didaulat sebagai Gubernur Bank Indonesia I.
Sebagai seorang tokoh nasionalis, Syafruddin Prawiranegara pernah mengeluarkan kebijakan yang dirasa sangat kontroversial. Yakni pengguntingan uang menjadi dua bagian. Atau yang dikenal dengan kebijakan Gunting Syafruddin. Targetnya adalah uang Belanda, yang beredar luas sejak masa Agresi Militernya.
Jadi, uang Belanda (uang merah) dan uang keluaran De Javasche Bank pecahan Rp. 5,00 keatas digunting menjadi dua bagian. Dimana untuk lembaran kirinya berlaku harga separuhnya, untuk kegiatan pembayaran yang sah. Sedangkan sebelah kanannya, tidak berlaku untuk alat tukar, melainkan dapat ditukar dengan obligasi Negara. Nilainya pun setengah dari nilai semula.
Untuk obligasi ini, Negara akan membayar tiga puluh tahun kemudian, dengan bunga sebesar 3 persen per tahunnya. Nah, disinilah letak kontroversialnya, lantaran banyaknya obligasi yang membengkak kelak dikemudian hari. Walau dengan harapan pulihnya ekonomi Negara selama kurun waktu yang telah ditentukan.
Walau tujuannya adalah satu, yakni menarik semua uang lama yang beredar di masyarakat. Agar stabilitas nilai mata uang Indonesia sedikit demi sedikit membaik. Jika hal ini tidak dilakukan, maka yang akan terjadi adalah resesi ekonomi dengan dampak luas. Karena ketidakstabilan harga disertai daya beli (tukar) masyarakat menurun.
Kebijakan ini mulai diterapkan sejak tanggal 22 Maret hingga 16 April 1950 untuk proses penukaran uang. Dengan target pada tanggal 9 Agustus 1950, semua proses pertukaran uang telah dihentikan. Diluar dari tanggal yang telah ditentukan, maka peredaran uang Belanda tidak diakui sebagai proses transaksi jual beli. Demikian sejarah Indonesia mencatatnya.
Secara ekonomi, kebijakan ini dirasa berhasil dalam menekan laju inflasi pada masa itu. Tetapi jika dilihat melalui pendekatan sosial, maka dampaknya sangat membebani para pelaku usaha kecil dan menengah. Lantaran para pelaku usaha besar faktanya melakukan penimbunan barang-barang kebutuhan pokok, hingga stabilitas ekonomi dianggap telah tercapai.