Kita semua tentu mengetahui kisah perang paling ikonik dalam sejarah Indonesia. Perang yang meletus di kota Surabaya pada tanggal 10 November 1945, yang kelak ditetapkan sebagai Hari Pahlawan. Yap, lantaran pada peristiwa tersebut banyak para pejuang Republik yang gugur dalam mempertahankan kota Surabaya dari Sekutu.
Siapa sangka, Sekutu yang datang ke Surabaya justru melakukan aksi serangan terhadap Indonesia. Walau pada mulanya hanyalah hendak mengurus interniran Belanda. Tetapi fakta mengenai aksi serangan Sekutu pun tidak dapat dielakkan, dari berbagai peristiwa yang melatarbelakanginya. Seperti peristiwa terbunuhnya Jenderal A.W.S. Mallaby.
Nah, sejak peristiwa terbunuhnya A.W.S. Mallaby itulah kemudian Sekutu membabibuta di Surabaya. Dengan alasan menghancurkan para ekstrimis yang mengacau, atau alasan lain yang dirasa hanya akting belaka. Bahwa tujuan lain tentu saja upaya lobby-lobby pihak Belanda agar dapat kembali menguasai Indonesia.
Diluar itu, sejak pertempuran hebat terjadi pada 10 November, Surabaya seketika menjadi medan adu jago para pasukan Sekutu vs pejuang Republik. Walau di pihak Republik rata-rata hanya berbekal senjata seadanya. Tapi, ada satu senjata yang tidak dimiliki oleh pihak Sekutu, walau jauh dari kesan modern.
Ialah senjata "bertuah" yang dimiliki oleh para pejuang. Bukan hanya itu, para orang-orang sakti yang terlibat pada berbagai front di Surabaya kerap menunjukkan aksi-aksi heroiknya. Hal ini tertulis dalam buku "Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 2" karya Jenderal A.H. Nasution. Dimana bambu runcing yang hendak dipakai untuk bertempur, sebelumnya selah di "suwuk" dengan ajian tertentu.
Diberitakan pula, bahwa mereka yang memiliki kesaktian; "baik para alim ulama ataupun orang-orang sakti diminta untuk datang ke Surabaya". Demikian kalimat yang digelorakan pula oleh Radio Pemberontakan besutan Bung Tomo. Tak terkecuali Pasukan Berani Mati, yang disebutkan kerap berhasil membakar tank-tank ringan Sekutu dengan cara menaikinya tanpa terkena luka.
Belum lagi kisah mengenai kemampuan pasukan Hizbullah yang berasal dari Mojokerto, yang dapat "menyulap" kerikil menjadi sebuah granat. Ada pula kisah mengenai pejuang dari Blitar yang mampu melesatkan bambu runcing untuk mencari sasaran. Walau hal ini dikisahkan melalui tutur yang beredar di kalangan pejuang.
Tentu kita kadang berpikir, bahwa para sakti yang tergabung dalam circle pejuang dapat dikatakan mempunyai senjata "lebih" diluar nalar. Yakni ketika pasukan para Warok dari Ponorogo yang rata-rata memiliki ilmu kebal pun terlibat dalam pertempuran besar ini. Walau tidak terakomodir secara kolektif, kehadiran para sakti ini telah memberi semangat bagi para pejuang kala itu.
Sedianya hal itu pun dikemukakan oleh Bung Tomo, bahwa semua yang terlibat (para jago/sakti) ini telah mampu membangkitkan semangat juang arek-arek Suroboyo. Tak luput dari para ulama yang turut serta berjibaku dalam memberi support para santri untuk turut membela negerinya.
Tidak ada sekat antar golongan ataupun ideology tertentu dalam aksi "meramaikan" kota Surabaya kala itu. Walaupun ada intrik dibalik beberapa peristiwa, realitasnya tidak mempengaruhi semangat tempur dari para pejuang untuk memberi perlawanan kepada Sekutu.