Siapa yang tidak kenal dengan tokoh, pejuang, dan pahlawan satu ini? Namanya tentu sangat familiar di telinga kita, walau tidak secara langsung mengetahui kisah sejarahnya. Yap, beliau adalah Tan Malaka, seorang legend di era revolusi Indonesia asal Pandam Gadang, Sumatera Barat.
Masa mudanya digeluti dengan perjalannya ke Belanda untuk melakukan studi. Tepatnya pada tahun 1914, aktivitas di luar negeri pada akhirnya mempertemukan dirinya dengan Henk Snevliet (seorang tokoh komunis pendiri ISDV). Dimana kala itu Tan Malaka tertarik mempelajari gerakan komunis internasional.
Usai kembali dari Eropa pada tahun 1919, beliau kembali ke Indonesia. Sebuah fenomena sosial pun merubah cara pandangnya ketika tinggal di Tanjung Morawa. Walau selama di Eropa, cara pandangnya terhadap kolonialisme dan praktik kapitalisme sudah sangat sentimentil.
Maka wajar, jika kemudian realitas sebagai bangsa terjajah membuat dirinya selalu menentang kebijakan Pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Melalui berbagai tulisan kritis Tan Malaka mengkoreksi cara kerja pemerintah kolonial. Bahkan cenderung propagandis dan mengarah pada aksi agitatif melalui setiap judulnya, seperti "Tanah Orang Miskin".
Bahkan tulisan kritisnya kerap dimuat dalam berbagai surat kabar, seperti Sumatera Post, yang mengkisahkan penderitaan seorang kuli pribumi. Lantaran aktivitasnya identik dengan ideologi yang berhaluan komunis, maka beliau pun dapat masuk sebagai anggota Volksraad, sebagai wakil dari golongan kiri.
Hingga saat Sarekat Islam pecah menjadi dua faksi yang berhaluan agama (putih) dan komunis (merah). Melalui Semaun (Ketua Sarekat Islam Merah), Tan Malaka akhirnya mau bergabung dengan PKI. Tujuan utamanya ketika aktif di PKI kala itu hanya fokus pada pendirian sekolah-sekolah untuk para pribumi. Sekolah ini kemudian dikenal dengan istilah Sekolah Tan Malaka.
Namanya semakin melambung, tatkala berhasil mendirikan banyak sekolah-sekolah untuk rakyat. Hingga membuatnya menuliskan karyanya dalam "SI Semarang dan Onderwijs". Tan Malaka memang terlahir sebagai seorang guru, yang memiliki pandangan tentang masa depan Indonesia merdeka.
Semasa menjabat sebagai pimpinan PKI, sikap kritisnya terhadap Belanda semakin besar. Dengan strategi agitasi dan propagandanya di berbagai media cetak. Tulisan-tulisannya yang membawa harapan bagi rakyat kelas bawah, dianggap mewakili lahirnya semangat perlawanan yang lebih berbahaya bagi Belanda.
Menjadi Buronan Internasional
Aktivitasnya dalam mengorganisir kelas-kelas pekerja, akhirnya membuat Pemerintah Belanda mendaulatnya sebagai musuh utama. Hingga mengasingkannya ke Belanda pada tahun 1922. Tetapi, selama di Belanda, aktivitasnya justru semakin luas, ketika berhasil menjalin kerjasama dengan organisasi komunis Belanda.