Jika sebelumnya telah diulas mengenai Stasiun Kedungjati, maka selanjutnya adalah Stasiun Gundih yang masih menjadi bagian dari kelanjutan proyek kereta api Semarang-Tanggung. Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM) Semarang, memang terus mengembangkan moda transportasi massal (kereta api) sejak tahun 1860an.
Khusus untuk Stasiun Gundih, yang mulai dioperasikan pada tanggal 10 Agustus 1867. Percepatan pembangunan rel menuju Surabaya pun mulai dikerjakan. Jadi percabangan rel menuju Surabaya, secara bertahap dibuka melaui arah utara, menuju Stasiun Gambringan. Dari Gambringan inilah kemudian rel menuju Randublatung dan Bojonegoro pun dibuka.
Walau ada track langsung dari Stasiun Ngrombo yang juga dibuka dari Semarang, via Stasiun Brumbung dan Stasiun Gubug. Hal inilah yang menjadikan Stasiun Gundih memiliki konstruksi bangunan unik. Posisi stasiun berada diantara dua jalur kereta api, satu sisi menuju Jogjakarta, sedangkan sisi lainnya menuju Surabaya.
Sedangkan untuk ukuran rel, Stasiun Gundih telah melengkapinya dengan membuat rel ganda. Untuk keperluan lokomotif yang beda ukuran dan daya angkut. Namun, ada yang lebih menarik dari stasiun ini, yakni adanya emplasemen trem uap yang terhubung dengan Stasiun Purwodadi (non-aktif) sepanjang 17 km.
Di sini NISM bekerjasama dengan perusahaan Semarang Joanna Stoomtram-maatschappij (SJS) untuk melayani kebutuhan penumpang lokal. Aktivasi trem dengan rute Gundih-Purwodadi ini dibuka sejak tahun 1884. Kala itu SJS sempat membuka track hingga daerah Blora dan Demak di utara.
Maka, tak heran jika Stasiun Gundih banyak disinggahi lokomotif beragam ukuran hingga trem uap yang juga kerap dipergunakan sebagai angkutan penumpang dan hasil bumi. Menurut Oliver Johannes Raap, terminal trem Gundih-Purwodadi dioperasikan oleh Poerwodadi Goendih Stoomtram Maatschappij (PGSM), pada bulan November 1884.
Selain itu, wilayah Grobogan yang didominasi oleh hutan jati, sangat memungkinkan bagi pengoperasian kereta uap dengan ragam jenis yang berbeda-beda. Ada semacam perbedaan dalam pengoperasian lokomotif keluaran Inggris (Beyer Peacock) dengan Belanda (Werkspoor), walau dengan bahan bakar yang sama, yakni kayu jati.
PGSM kala itu memang tengah dilanda kesulitan anggaran dalam pengoperasiannya, maka PGSM pun melebur menjadi satu dengan SJS yang bekerjasama dengan NISM. Walaupun untuk moda transportasi trem banyak peminatnya, hanya saja dalam urusan piutang dan persoalan administrasi, PGSM akhirnya tidak dapat berkembang lebih besar.