Hingga masa kemerdekaan diraih, Sutan Syahrir langsung didapuk sebagai Perdana Menteri pertama dan termuda di Indonesia. Pengetahuannya yang luas dalam politik internasional membuat dirinya kerap dijadikan sasaran lawan politiknya. Tidak main-main, beliau pernah diculik oleh para simpatisan Tan Malaka pada bulan Juni 1946.
Hal ini dikarenakan, Sutan Syahrir lebih mengedepankan diplomasi dengan Belanda yang hendak menjajah lagi Indonesia. Selain dari eksisntensi golongan Sosialis yang mendominasi Parlemen. Tudingan miring yang dialamatkan kepadanya sebagai kolaborator Belanda dalam Perundingan Linggarjati tidak membuatnya gentar.
Sutan Syahrir lebih percaya bahwa kekuatan diplomasi adalah bukti utama dari eksistensi sebuah Negara. Selain bahwa beliau sangat memperhitungkan kekuatan senjata Sekutu yang jauh lebih unggul dari para pejuang Republik. Benar saja, pada tahun 1947, beliau diminta untuk berpidato dalam sidang Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Tuntutannya terhadap Belanda berhasil dimenangkannya secara mutlak, sebuah rangkaian peristiwa yang mengantarkan Indonesia ke perundingan Meja Bundar. Seperti kita ketahui, bahwa melalui Konferensi Meja Bundar, kekuasaan Belanda di Indonesia kelak akan berakhir.
Selama kepemimpinannya, Sutan Syahrir sangat menentang aksi-aski dari golongan komunis yang dianggapnya "sok" revolusioner. Bahkan beliau secara terang menentang sistem kenegaraan yang dianut oleh Uni Soviet, sejak didaulat menjadi Duta Besar Keliling. Dimana ideologi sosialisme diperkenalkannya secara masif dan menjunjung derajat setiap manusia.
Tetapi, peristiwa Pemberontakan PRRI yang meletus pada tahun 1958, membuat dirinya seketika terhempas dari panggung politik. Hal ini terjadi sebagai akibat dari keterlibatan Partai Sosialis Indonesia dengan aksi-aksi politik dari para tokoh PRRI. Serta merta hal inilah yang membuat hubungan dengan Presiden Soekarno memburuk.
Sebagai konsekuensinya, Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh Pemerintah pada tahun 1960. Sedangkan Sutan Syahrir ditangkap atas tuduhan makar tanpa diadili. Hal inilah yang kemudian membuat kesehatannya menurun. Keputusan pengasingan dirinya dari panggung politik membuat beliau tertekan hingga terserang stroke.
Selain ditetapkan sebagai tahanan politik, kebebasannya dalam area-area publik pun dibatasi. Hingga upaya berobat ke Swiss juga dipersulit hingga akhir hayatnya. Sutan Syahrir pun akhirnya meninggal dengan status tahanan dalam pengasingan di Swiss pada tanggal 9 April 1966.
Pemerintah Indonesia pun memutuskan untuk memakamkannya di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Serta menganugerahinya dengan gelar Pahlawan Nasional, sesuai dengan Keppres No. 76 Tahun 1966 atas jasa dan perjuangannya. Semoga bermanfaat, terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H