Mungkin kita tidak banyak mengetahui, bahwa pasukan laskar Hizbullah yang terkenal sejak masa pendudukan Jepang dikomandoi oleh seorang ulama besar dari Nahdlatul Ulama (NU). Beliau adalah K.H. Zainul Arifin Pohan, kelahiran Barus, pada 2 September 1909. Sejak usia 16 tahun, beliau yang merantau ke Jakarta, banyak mendapatkan pengalaman juang bersama tokoh-tokoh besar kala itu.
Selama tinggal di kawasan Meester Cornelis (Jatinegara), Zainul Arifin membangkitkan geliat kesenian samrah yang kental dengan tradisi melayu. Aktivitas lainnya adalah sebagai pengajar di Perguruan Rakyat, juga kerap memberi bantuan hukum bagi masyarakat Betawi. Hal ini dapat dilakukannya, karena beliau fasih dan menguasai bahasa Belanda, walau tidak memiliki latar belakang pendidikan hukum.
Hingga pada suatu pertemuan dengan Djamaludin Malik (tokoh perfilman Indonesia), beliau memutuskan untuk bergabung bersama Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor). Kala itu memang GP Anshor tengah melakukan rekuritmen terhadap anggota muda yang sedianya memiliki tekad juang bersama di berbagai aspek, khususnya dakwah.
Nah, karena piawai dalam berpidato, serta perkenalannya dengan tokoh-tokoh NU, seperti K.H. Abdul Wahid Hasyim. Beliau didapuk menjadi Ketua Cabang NU di Jatinegara, hingga masa kedatangan Jepang di tahun 1942. Pada masa pendudukan Jepang inilah, kemudian beliau terlibat dalam kepengurusan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), setelah MIAI dianggap tidak mampu menjalankan kepentingan Jepang.
Selama terlibat di Masyumi inilah beliau kerap berdiskusi dengan Gatot Mangkupraja sang inisiator dibentuknya PETA. Dimana pada bulan September 1944, Jepang membentuk pasukan cadangan khusus bagi para pemuda muslim. Terhitung sebanyak 400.000 orang, dengan membagi menjadi beberapa batalyon tempur. Karena hal inilah, kemudian Hizbullah dibentuk secara resmi dibentuk.
Tepatnya pada tanggal 8 Desember 1944, dengan nama Kaikyo Seinen Teishintai (Pasukan Sukarela Pemuda Islam). Kyai Haji Ahmad Sanusi yang kala itu menjabat sebagai Wakil Residen Bogor, pun mengusulkan agar nama tersebut diganti menjadi Hizbullah. Jadi, posisinya adalah pasukan cadangan dari tentara PETA yang telah lebih dahulu didirikan oleh Jepang.
Uniknya, khusus untuk barisan Hizbullah ini para anggotanya tidak perlu melakukan upacara seikeirei, melainkan cukup dengan pekik "Allahu Akbar" sebanyak tiga kali. Dalam sebuah rapat kepengurusan batalyon Hizbullah, K.H. Zainul Arifin kemudian didaulat menjadi Panglima Umum Hizbullah untuk semua batalyon di seluruh Indonesia.
Sebuah bentuk amanat yang tidak main-main tentunya. Melihat kondisi pasukan Jepang yang sudah terdesak pada Perang Pasifik, dan segala macam persiapan kemerdekaan bagi Indonesia. Pasukan Hizbullah inilah yang kelak berkontribusi besar dalam menjaga kepentingan tokoh-tokoh nasional demi tercapinya kemerdekaan.
Ada strategi unik yang dikembangkan oleh kesatuan Hizbullah kala itu, yakni memaksimalkan peran tonarigumi (rukun tetangga/RT) dalam setiap agenda juangnya. Fyi, tonarigumi yang dibentuk oleh Jepang tidak lepas dari pengaruh K.H. Zainul Arifin lho dalam pelaksanaannya.
Itulah kiranya, kiprah salah satu punggawa NU dalam panggung sejarah Indonesia. Sedianya, beliau adalah pahlawan besar yang kiprahnya dapat terus kita kenang sepanjang masa. Khususnya dalam memperingati harlah NU yang telah memasuki usia satu abad, dan senantiasa konsisten menjaga NKRI sejak masa perjuangan bangsa dahulu kala. Merawat Jagat, Membangun Peradaban.