Mohon tunggu...
Novita Ayu
Novita Ayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Olahraga

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Skripsi Perkawinan Ayah Dengan Anak Tiri (Rhabibah) Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

1 Juni 2024   23:21 Diperbarui: 1 Juni 2024   23:33 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Review Skripsi "PERKAWINAN AYAH DENGAN ANAK TIRI (RHABIBAH) PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN (STUDI KASUS DUSUN SUMBERDUEN DESA GLAGAHWERO KECAMATAN PANTI KABUPATEN JEMBER)''


Penulis : Fadilatus Sholehah


Reviewer: Novita Ayu Nugraheni (222121131-HKI 4D)

Pendahuluan
Manusia adalah makhluk yang diciptakan oleh Allah sama dengan makhluk lainnya, sama-sama mempunyai akal dan naluri masing-masing, sama-sama hidup dengan kodrat yang telah disiapkan oleh Allah, sama-sama mempunyai keinginan dan nafsu masing-masing, oleh karena itu setiap manusia pasti berkeinginan untuk memiliki pasangan hidup masing-masing. Maka dengan keinginan manusia yang oleh karenanya ingin memiliki pasangan hidup, Allah telah memberikan jalan terbaik bagi manusia, dan jalan terbaik itu tidak lain adalah ibadah yang di sunnahkan bagi setiap manusia untuk berpasang-pasangan, maka hendaklah manusia sadar bahwa Allah selalu memberikan jalan terbaik yang tidak lain agar manusia selalu bertaqwa kepada Allah dan menjauhkann dirinya dari perbuatan yang dilarang oleh Allah, dan jalan terbaik itu tidak lain adalah perkawinan.

Dalam Undang-undang nomor 1 tahun 1974 pasal 2 dijelaskan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum masing-masing dan kepercayaan masing masing. Dari itu, agar perkawinan itu tidak menjadi perkawinan yang melanggar hukum maka, perkawinan harus melibatkan 3 Kitab Undang-undang Hukum, misalnya perkawinan itu harus tercatat menurut kantor pencatat pernikahan, dan timbulnya kewajiban mencatatkan perkawinan didasarkan pada pasal 2ayat (2) UU nomor 1 tahun 1974, yang menegaskan bahwa tiaptiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Meski masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, praktek perkawinan bawah tangan hingga kini masih banyak terjadi. Padahal perkawinan di bawah tangan jelas-jelas akan berdampak bukan hanya bagi pasangan yang bersangkutan, juga berdampak bagi keturunannya.
 a. Suami istri tersebut tidak mempunyai akat nikah sebagai bukti mereka telah menikah       secara sah menurut agama dan negara
b. Anak-anak tidak dapat memperoleh akta kelahiran dari istri yang berwenang karena untuk mendapatkan akta kelahiran itu diperlukan akta nikah dari orang Tuanya
 c. Anak-anak tidak dapat memewarisi harta orang tuanya karena tidak ada bukti auntentik yang menyatakan mereka sebagai ahli waris orang tuanya
d. Tidak memperoleh hak-hak lainnya dalam pelaksanaan adsministrasi Negara yang mesti harus dipenuhi sebagai bukti diri.

Maka dalam konteks ini peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian, karena menurut peneliti perkawinan tersebut tidak semestinya dilakukan dan tidak semestinya harus terjadi, dan karena perkawinan tersebut merupakan perkawinan yang dalam konteks termasuk dalam larangan perkawinan, mengapa demikian? Karena di atas sudah jelas di jelaskan tentang larangan perkawinan baik menurut hukum positif yang berlaku di indonesia yaitu UU no 1 th 1974 tentang perkawinan, dan juga dalam hukum Islam yang menyangkut hukum perkawinan, maka dalam hukum positif dan hukum islam terdapat larangan menikah dengan orang yang masih dalam hubungan persemendaan (hubungan sesama mahram) yaitu salah satunya adalah anak tiri, dan boleh melakukan perkawinan tersebut jika ayah belum mendukhul (menyetubuhi) ibu kandung, menurut peneliti terjadinya perkawinan tersebut menjadi fakta hukum dan ini sangat bertolak belakang dengan konsep hukum yang berlaku di indonesia, karena hukum mengatur manusia untuk taat terhadap hukum.

        B. Fokus Penelitian
 1. Bagaimana kronologis penyebab terjadinya perkawinan ayah dengan Rhabibah di Dusun Sumberduren Desa Glagahwero Kec Panti Kabupaten jember?
 2. Bagaimana Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan Ayah dengan Rhabibah?
 3. Bagaimana Perkawinan Ayah dengan Anak tiri (Rhabibah) menurut Perspektif Undang-Undang NO 1TH 1974?

        C.Review
            1. Pengertian Pernikahan
Apa sih pernikahan itu? Bila kita ditanya demikian, pasti dengan sigap dan tanpa perlu berfikir panjang kita akan menjawabnya. Dalam makna yang sangat sederhana, pernikahan adalah bersatunya laki-laki dan perempuan dalam ikatan suci yang melahirkan suatu keluarga atau rumah tangga.
fiqh islam lebih banyak memakai kata "nikah" atau "ziwaj" kata nikah atau ziwaj ini banyak dipakai dalam Al-qur'an, yang artinya berkumpul. Meskipun pada hakekatnya pengertian menurut islam sama (tidak jauh beda) dengan pengertian perkawinan dalam UURI Nomor 1 tahun 1974, namun pengertian dalam fiqih lebih mengarah kepada hal-hal yang spesifik dan urgen dalam pernikahan itu sendiri. Berikut adalah beberapa definisi pernikahan yang dikemukakan para ahli fiqih, diantaranya: Pertama, pengertian perkawinan menurut Prof.Dr. Mahmud Yunus, menurutnya, perkawinan adalah akad antara calon laki-laki dan perempuan untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat agama. Kedua, pengertian perkawinan menurut Idris Ramulya. Idirs Ramulya mendefinisikan pernikahan atau perkawinan menurut islam sebagai, "suatu perjanjian atau suci yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan membentuk keluarga.
Nah, dari tiga definisi pernikahan atau nikah tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa menikah, nikah, atau pernikahan adalah bercampurnya atau berkumpulnya dua orang (laki-laki dan perempuan)yang bukan mahram dalam ikatan akad (perjanjian) untuk kemudian diperbolehkan melakukan hubungan seksual. Kenapa harus ada kata "hubungan seksual" dalam definisi pernikahan tersebut? sebab, dalam fiqih, nikah itu sama dengann zawa.
2. Dasar Hukum Pernikahan dalam Islam
 Dasar Hukum Pernikahan dan Hukum pernikahan adalah dua hal yang berbeda, Namun, keduanya akan dibahs secara singkat pada bagian ini, Pernikahan dalam Konsep islam adalah bagian dari ibadah. Lebih dari itu, Pernikahan dalam konsep Islam adalah bagian dari ibadah.
Sabda Rasulullah Saw, "Empat perkara yang termasuk sunnah para rasul, yaitu sifat malu, memakai wangi-wangian, bersiwak, dan menikah,"(HR. Tirmidzi dan Ahmad)
Dalam surat An-nisa' ayat 1 dijelaskan
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (An-nisa' : 1)
Artinya: Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnianya. Dan Allah maha luas (pemberiannya) lagi maha mengetaui. (Q.S. An-Nur :32)
Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Ar-rum : 21).
3. Syarat-syarat Pernikahan
 a. Pernikahan Harus halal menurut syari'at Berdasarkan firman Allah Swt. Tersebut, sudah jelas bahwa ada kelompok perempuan yang haram dinikahi. Keharaman laki-laki untuk menikahi perempuan tersebut, juga berlaku sebaliknya, yaitu, si perempuan pun haram untuk menikah dengan laki-laki tersebut. Berdasarkan surat An-nisa' ayat 23
 b. Telah baligh dan berakal Syarat tersebut menetapkan bahwa laki-laki yang belum akil baligh tidak diperbolehkan menikah. Sebab, orang yang belum mencapai masa akil baligh tidak dikenakan kewajiban beribadah kepada Allah swt, seperti shalat dan juga puasa.
c. Ijab dan Qabul Ijab dan qabul adalah serah terima dari wali perempuan kepada mempelai laki-laki. Diriwayatkan pada sebush hadist bahwa Sahl bin Said memutuskan, seorang perempuan datang kepada Nabi Muhammad Saw, untuk menyerahkan dirinya, ia berkata, "saya serahkan diriku kepadamu, ia berdiri lama sekali (untuk menanti). Kemudian, seorang laki-laki berdiri dan berkata, 'wahai Rasulullah, kawinkanlah saya dengan nya jika engkau tidak berhajat kepadanya,' Rasulullah Saw bersabda, 'Aku kawinkan ngkau kepadanya dengan mahar yang ada padamu," (HR, Bukhari dan Muslim).
 d. Ada mahar Mahar merupakan hal yang harus ada ketika suatu pernikahan dilaksanakan sebab, dengan mahar inilah calon pengantin laki-laki itu dapat memperistri calon pengantin perempuan. Dan ini merupakan syari'at yang harus dipenuhi dalam setiap perjalanan.
e. Ada dua orang saksi Jumhur ulama bersepakat bahwa syarat untuk menjadi saksi perniukahan minimal ada lima, yakni laki-laki muslim, baligh, dan berakal, merdeka, orang yang adil,dan dapat melihat f. Ada wali dari pihak perempuan Syarat selanjutnya ialah adanya wali nikah. Wali nikah hukumnya wajib, terutama bagi pihak perempuan Rasulullah saw Bersabda "Tidaklah sah pernikahan kecuali adanya wali" (HR. Abu Dawud).
 g. Hikmah-Hikmah Pernikahan Lantas, mengapa Allah Swt sangat mengistimewakan pernikahan?atau, mengapa Allah swt memerintahkan hambanya untuk menikah? Jawabannya terletak pada hikmah dibalik pernikahan itu sendiri. Dan, hikmah-hikmah inilah ynag menjadikan Allah swt memerintahkan hamba nya untuk menikah.
Keharaman menikahi wanita secara sah abadi (keharaman mutlak):
 a) Wanita haram sebab nasab
b) Keharaman sebab persambungan (mertua)
 c) Keharaman sebab persusuan
 d) Wanita haram sementara
 e) Wanita yang wanita dinikahi dan sesamanya
f) Wanita tertalak tiga kali bagi suaminya
 g) Poligami antara dua wanita dua wanita mahram
 h) Poligami melebihi empat orang wanita i) Wanita yang bukan beragama samawi
 j) Wanita murtad

4. Larangan menikahi Anak Tiri Dalil Al-qur'an & Hadis
Perempuan yang haram dinikahi di dalam nash (Alqur'an) ada 14 orang. Tujuh orang diharamkan karena susuan, empat orang diharamkan karena hubungan perkawinan (besanan), dan satu orang diharamkan karena dimadu dengan saudarinya. Maksud nash adalah dalil al-qur'an dalam surah An-nisa' ayat 22-23 dalam ayat tersebut, Allah swt. 21 Mawardi Al, Hukum Perkawinan Dalam Islam,  24 Mengharamkan pernikahan dengan empat belas (14) perempuan. Fiman nya:
Terjemah Surat An Nisa Ayat 22-23
22.[1] Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu[2], kecuali (kejadian) pada masa yang telah lampau[3]. Sesungguhnya perbuatan itu sangat keji dan dibenci[4] dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh)[5].23
23.[6] Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu[7], anak-anakmu yang perempuan[8], saudara-saudaramu yang perempuan[9], saudarasaudara ayahmu yang perempuan[10], saudara-saudara ibumu yang perempuan[11], anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang lakilaki, anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan[12], ibu-ibumu yang menyusui kamu[13], saudara-saudara perempuanmu sesusuan[14], ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri[15], tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu menikahinya, (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu)[16], dan diharamkan mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara[17], kecuali yang telah terjadi pada masa lampau[18]. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (An-Nisa':23)

Letak Keharaman menikahi Rhabibah
Kata Rhabibah atau Raba'ib dalam ayat di atas maknanya "anak istri". Allah menentukan bahwa pengharamannya tergantung pada apakah ibunya sudah digauli atau belum. Adapun firman Allah yang berbunyi,"......fii hujurikum..." tidak adalah shifat dan bukan qaid. Maknanya, bukan berarti anak anak istri yang tidak dipelihara suami dihalalkan, sedangkan yang dipelihara oleh ayah tirinya. Jumhur ulama sepakat bahwa anak ini diharamkan bagi ayahnya, baik si anak tinggal dalam pemeliharaannya atau tidak.
 Namun, pendapat ini ditentang oleh Mahdzhab Zhahiriyah. Menurut mereka, anak tiri tidak diharamkan bagi ayah tirinya kecuali yang di pelihara olehnya. Dengan kata lain, anak tiri yang tidak dipelihara oleh si ayah tiri untuk dinikahi setelah sebelumnya ibunya diceraikan atau meninggal.
Kesimpulan: Anak dari istri ayah (anak ibu tiri) dan anak dari istri (cucu tiri) tidak diharamkan bagi seseorang. Ia boleh menikahi putri dari istri ayahnya (putri ibu tirinya) atau putri dari istri anaknya (cucu tiri). Begitulah kesepakatan para ulama, sebab ini tidak termasuk dalam hala'il/halilah ayah atau anak. Yang masuk kategori halilah adalah istri dan putri dari istri saudari istri), sementara ibunya tidak termasuk istri.
Larangan Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 18 Kompilasi Hukum Islam telah mengatur bahwa untuk melangsungkan perkawinan, diantara pasangan suami istri tidak boleh ada halangan perkawinan.
Meski masih menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, praktek perkawinan bawah tangan hingga kini masih banyak terjadi. Padahal perkawinan di bawah tangan jelas-jelas akan berdampak bukan hanya bagi pasangan yang bersangkutan, juga berdampak pada keturunannya. Menurut Abdul Manan, bahwa dampak perkawinan yang tidak dicatat antara lain : a. Suami istri tersebut tidak mempunyai akta nikah sebagai bukti mereka telah menikah secara sah menurut agama dan negara.
Anak-anak tidak dapat memperoleh akta kelahiran dari istri yang berwenang karena untuk mendapatkan akta kelahiran itu diperlukan akta nikah dari orang tuanya, c. Anak-anak tidak dapat mewarisi harta orang tuanya karena tidak ada bukti autentik yang menyatakan mereka sebagai ahli waris orang tuanya, d. Tidak memperoleh hak-hak lainnya dalam pelaksanaan administrasi negara yang mesti harus dipenuhi sebagai bukti Selain itu, dampak hukum perkawinan di bawah tangan adalah : 1) Perkawinan Dianggap tidak Sah Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan Anda dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil. 2)Anak Hanya Mempunyai Hubungan Perdata dengan Ibu dan Keluarga Ibu Anak-anak yang dilahirkan di luar perkawinan atau perkawinan yang tidak tercatat, selain dianggap anak tidak sah, juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (Pasal 42 dan 43 Undang-UndangNomor 1 Tahun 1974). Sedang hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada.
Kemudian dampak lain adanya perkawinan di bawah tangan, baik terhadap isteri maupun anak-anak adalah :


1. Terhadap Istri Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial Secara hukum:
a) Tidak dianggap sebagai istri sah
 b) Tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia
 c) Tidak berhak atas harta gono- gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi.
2. Terhadap Anak Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni : Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (Pasal 42 dan Pasal 43 UU Nomor 1Tahun 1974, Pasal 100 KHI). Di dalam akta kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.

Perkawinan Ayah dengan Anak tiri (Rhabibah) dalam Undang-undang NO 1 TH 1974 Tentang Perkawinan Setelah peneliti melakukan observasi serta wawancara terhadap beberapa informan tentang terjadinya kasus perkawinan Ayah dengan Rhabibah, maka di sini peneliti akan membahas tentang konsep hukum mengenai perkawinan tersebut. Maka dari itu di sini peneliti akan membahas tentang perkawinan Ayah dengan Rhabibah dalam UndangUndang nomor 1 tahun 1974.

Perkawinan Ayah dengan Anak tiri (Rhabibah) Perspektif UndangUndang NO 1 TH 1974 tentang Perkawinan Dari adanya pasal di atas dijelaskan bahwa adanya perkawinan Ayah dengan Rhabibah termasuk dalam larangan perkawinan. Dengan demikian adanya pasal tersebut menjelaskan mengenai enam hal yang di larang dalam perkawinan diantaranya berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau ke atas, berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, berhubungan semenda, berhubungan susuan, berhubungan saudara dengan istri atau sebagai keponakan dari istri, dan mempunyai hubungan yang oleh Agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Dari berbagai pendapat masyarakat serta pandangan masyarakat, dan setelah peneliti akumulasikan semuanya dengan pamikiran peneliti, maka, pendapat serta pandangan masyarakat tersebut menyebutkan bahwa adanya kasus perkawinan Ayah dengan rhabibah bukan hanya perkawinan yang fatal dilakukan, akan tetapi perkawinan ini juga tidak sah menurut hukum, baik itu menurut hukum islam maupun Hukum positif di indonesia. dan, maka dari itu di sini peneliti akan membahas mengenai Hukum yang mengatur tentang perkawinan yang menyangkut dengan perkawinan ayah dengan rhabibah tersebut. Jadi, menurut undang-undang No 1 tahun 1974 di sini adanya perkawinan ayah dengan Rhabibah tersebut adalah perkawinan yang tidak sah secara hukum, di karenakan dalam undang-undang tersebut di jelaskan bahwa dalam pasal 2 ayat 1 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, dan sedangkan dalam pasal 2 ayat 2 juga dijelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan di catat menurut pejabat yang berwenang. Karena itu perkawinan bukan hanya dalam artian menyatukan kedua pasangan, akan tetapi dalam setiap perkawinan terdapat hukum yang mengaturnya, dari itu, siapapun pelaku perkawinan mau tidak mau harus taat pada aturan hukum yang berlaku.

Kesimpulan
 Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat di simpulkan oleh peneliti sebagai berikut:


 1. Faktor dominan yang menjadi penyebab utama terjadinya perkawinan Ayah dengan Anak tiri (rhabibah) yaitu karena hamil di luar nikah, dengan demikian, dari adanya faktor tersebut mengharuskan kedua pasangan (ibu susmiati dan Bapak Asmad) harus melangsungkan sebuah perkawinan, maka hal tersebut membuat semua masyarakat di sekitar kompleks kediaman pasangan pelaku perkawinan Ayah dengan Rhabibah merasa terkejut dan bertanya-tanya akan terjadinya hal tersebut, jadi, karena itu membuat masyarakat semakin merasa yakin bahwa sebuah kehamilan yang terjadi terhadap Ibu susmiati yang di kandungnya adalah anak dari Ayah tirinya sendiri.
 2. Menurut pandangan undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa perkawinan ayah dengan rhabibah itu di larang, sebagaimana dalam penjelasan undang-undang No 1 th 1974 pasal 8 huruf c bahwa: "perkawinan dilarang diantara dua orang yang: berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/Bapak tiri". Maka, dari adanya pasal tersebut penjelasan tentang perkawinan Ayah dengan rhabibah memang tidak diperbolehkan, karena dalam pasal tersebut di sebutkan bahwa perkawinan itu di larang di antara dua orang yang memiliki hubungan semenda, hubungan semenda adalah hubungan yang masih dalam ikatan tali kekeluargaan termasuk hubungan antara seorang ayah dengan Anak tirinya.
3. Mengenai perspektif Undang-undang tentang terjadinya perkawinan Ayah dengan Anak tiri(Rhabibah), jadi karena sudah dijelaskan dalam pasal 8 Huruf c Undang-undang perkawinan dan memang sudah jelas bahwa perkawinan Ayah dengan Anak tiri (Rhabibah) dilarang menurut UndangUndang Perkawinan, maka, dengan demikian harus dilakukan pembatalan Nikah sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-undang perkawinan Bab Iv Pasal 22 tentang pembatalan perkawinan, dan mengena

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun