1. Terhadap Istri Perkawinan bawah tangan berdampak sangat merugikan bagi istri dan perempuan umumnya, baik secara hukum maupun sosial Secara hukum:
a) Tidak dianggap sebagai istri sah
 b) Tidak berhak atas nafkah dan warisan dari suami jika ia meninggal dunia
 c) Tidak berhak atas harta gono- gini jika terjadi perpisahan, karena secara hukum perkawinan anda dianggap tidak pernah terjadi.
2. Terhadap Anak Sementara terhadap anak, tidak sahnya perkawinan bawah tangan menurut hukum negara memiliki dampak negatif bagi status anak yang dilahirkan di mata hukum, yakni : Status anak yang dilahirkan dianggap sebagai anak tidak sah. Konsekuensinya, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu. Artinya, si anak tidak mempunyai hubungan hukum terhadap ayahnya (Pasal 42 dan Pasal 43 UU Nomor 1Tahun 1974, Pasal 100 KHI). Di dalam akta kelahirannyapun statusnya dianggap sebagai anak luar nikah, sehingga hanya dicantumkan nama ibu yang melahirkannya. Keterangan berupa status sebagai anak luar nikah dan tidak tercantumnya nama si ayah akan berdampak sangat mendalam secara sosial dan psikologis bagi si anak dan ibunya.
Perkawinan Ayah dengan Anak tiri (Rhabibah) dalam Undang-undang NO 1 TH 1974 Tentang Perkawinan Setelah peneliti melakukan observasi serta wawancara terhadap beberapa informan tentang terjadinya kasus perkawinan Ayah dengan Rhabibah, maka di sini peneliti akan membahas tentang konsep hukum mengenai perkawinan tersebut. Maka dari itu di sini peneliti akan membahas tentang perkawinan Ayah dengan Rhabibah dalam UndangUndang nomor 1 tahun 1974.
Perkawinan Ayah dengan Anak tiri (Rhabibah) Perspektif UndangUndang NO 1 TH 1974 tentang Perkawinan Dari adanya pasal di atas dijelaskan bahwa adanya perkawinan Ayah dengan Rhabibah termasuk dalam larangan perkawinan. Dengan demikian adanya pasal tersebut menjelaskan mengenai enam hal yang di larang dalam perkawinan diantaranya berhubungan darah dalam garis keturunan lurus kebawah atau ke atas, berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, berhubungan semenda, berhubungan susuan, berhubungan saudara dengan istri atau sebagai keponakan dari istri, dan mempunyai hubungan yang oleh Agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.
Dari berbagai pendapat masyarakat serta pandangan masyarakat, dan setelah peneliti akumulasikan semuanya dengan pamikiran peneliti, maka, pendapat serta pandangan masyarakat tersebut menyebutkan bahwa adanya kasus perkawinan Ayah dengan rhabibah bukan hanya perkawinan yang fatal dilakukan, akan tetapi perkawinan ini juga tidak sah menurut hukum, baik itu menurut hukum islam maupun Hukum positif di indonesia. dan, maka dari itu di sini peneliti akan membahas mengenai Hukum yang mengatur tentang perkawinan yang menyangkut dengan perkawinan ayah dengan rhabibah tersebut. Jadi, menurut undang-undang No 1 tahun 1974 di sini adanya perkawinan ayah dengan Rhabibah tersebut adalah perkawinan yang tidak sah secara hukum, di karenakan dalam undang-undang tersebut di jelaskan bahwa dalam pasal 2 ayat 1 bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu, dan sedangkan dalam pasal 2 ayat 2 juga dijelaskan bahwa tiap-tiap perkawinan di catat menurut pejabat yang berwenang. Karena itu perkawinan bukan hanya dalam artian menyatukan kedua pasangan, akan tetapi dalam setiap perkawinan terdapat hukum yang mengaturnya, dari itu, siapapun pelaku perkawinan mau tidak mau harus taat pada aturan hukum yang berlaku.
Kesimpulan
 Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat di simpulkan oleh peneliti sebagai berikut:
 1. Faktor dominan yang menjadi penyebab utama terjadinya perkawinan Ayah dengan Anak tiri (rhabibah) yaitu karena hamil di luar nikah, dengan demikian, dari adanya faktor tersebut mengharuskan kedua pasangan (ibu susmiati dan Bapak Asmad) harus melangsungkan sebuah perkawinan, maka hal tersebut membuat semua masyarakat di sekitar kompleks kediaman pasangan pelaku perkawinan Ayah dengan Rhabibah merasa terkejut dan bertanya-tanya akan terjadinya hal tersebut, jadi, karena itu membuat masyarakat semakin merasa yakin bahwa sebuah kehamilan yang terjadi terhadap Ibu susmiati yang di kandungnya adalah anak dari Ayah tirinya sendiri.
 2. Menurut pandangan undang-undang no 1 tahun 1974 tentang perkawinan, bahwa perkawinan ayah dengan rhabibah itu di larang, sebagaimana dalam penjelasan undang-undang No 1 th 1974 pasal 8 huruf c bahwa: "perkawinan dilarang diantara dua orang yang: berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/Bapak tiri". Maka, dari adanya pasal tersebut penjelasan tentang perkawinan Ayah dengan rhabibah memang tidak diperbolehkan, karena dalam pasal tersebut di sebutkan bahwa perkawinan itu di larang di antara dua orang yang memiliki hubungan semenda, hubungan semenda adalah hubungan yang masih dalam ikatan tali kekeluargaan termasuk hubungan antara seorang ayah dengan Anak tirinya.
3. Mengenai perspektif Undang-undang tentang terjadinya perkawinan Ayah dengan Anak tiri(Rhabibah), jadi karena sudah dijelaskan dalam pasal 8 Huruf c Undang-undang perkawinan dan memang sudah jelas bahwa perkawinan Ayah dengan Anak tiri (Rhabibah) dilarang menurut UndangUndang Perkawinan, maka, dengan demikian harus dilakukan pembatalan Nikah sebagaimana yang dijelaskan dalam Undang-undang perkawinan Bab Iv Pasal 22 tentang pembatalan perkawinan, dan mengena
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H