Dalam menghadapi tantangan dunia yang akan mendatang, faktor ekonomi, hukum maupun pertahanan negara bukan lagi faktor utamanya, melainkan pendidikan masyarakat. Pendidikan merupakan faktor penggerak Sumber Daya Manusia yang dapat berkontribusi memajukan ketertinggalan Indonesia ini.Â
Menurut data yang dirilis dari Worldtop20.org pada tahun 2023, tingkat pendidikan di Indonesia berada di peringkat ke-67 dari 203 negara di dunia, urutan Indonesia berdampingan dengan Albania di posisi ke-66, dan Serbia pada peringkat ke-68.Â
Hal ini mengartikan bahwa sistem pendidikan di Indonesia masih belum memadai dan cukup memprihatinkan, dampaknya yakni rendahnya Sumber Daya Manusia dan rendahnya daya saing yang dimiliki oleh Indonesia.Â
Pada dasarnya, setiap masyarakat berhak mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak dan mudah untuk dijangkau. Faktor ekonomi, sosial, geografis serta ketidakmerataan akses pendidikan masih menjadi faktor penghambat hingga saat ini.Â
Masyakat menanyakan peran pemerintah dalam masalah ini, namun tidak bisa dihindari fakta bahwa pemerintah sudah mencoba memberikan Upaya 3T (Terdepan, terpencil, dan tertinggal) walaupun belum mengatasi permasalahan ini dengan baik.Â
Sistem pendidikan di daerah pelosok seringkali mengalami ketertinggalan, masih banyak sekali sekolah yang memiliki tempat pembelajaran yang tidak layak untuk digunakan. Kesulitan akses perjalanan seperti harus menyebrangi jembatan, melewati tanah merah yang tergenang air, bahkan ruangan kelas yang tergenang banjir sudah sering mereka rasakan.Â
Kemiskinan, menjadi salah satu faktor utama yang sangat bisa dirasakan di daerah pelosok, masyarakat yang memiliki ekonomi rendah cenderung menyampingkan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut menyebabkan banyak sekali sekolah di daerah pelosok yang tertinggal jika dibandingkan dengan sekolah di kota-kota besar.Â
Misalnya, berdasarkan pada website Data Pokok Pendidikan pada Kecamatan Pemulutan, Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, terdapat 27 Sekolah Dasar (SD), 8 Sekolah Menengah Pertama (SMP), 1 Sekolah Menengah Atas (SMA) dan 1 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK).Â
Perbedaan yang signifikan jumlah sekolah di daerah ini membuktikan bahwa kurangnya minat masyarakat dalam menempuh pendidikan yang tinggi. Pada faktanya, masih banyak sekali generasi muda pada daerah ini yang acuh terhadap pendidikan dan memaksakan bekerja di usia yang belum cukup, bahkan menormalisasikan pernikahan pada usia 12 tahun.Â
Kemudian, bagaimana pemerintah akan menyelesaikan masalah ini?Â
Di sini peran pemerintah dalam mengulurkan tangannya sangat dibutuhkan. Solusi yang diberikan oleh pemerintah melalui bantuan pendanaan BOS tidak begitu dirasakan, seharusnya pemerintah dapat memperhatikan bahwa anggaran tersebut sudah tersebar merata sampai ke daerah tersebut, dan memantau penggunaan anggaran yang telah diberikan.Â
Selain itu, sosialisasi langsung ke daerah tersebut dengan menekankan urgensi pendidikan, memperbaiki kualitas guru, dan sarana prasarana di sekolah menjadi solusi yang efektif untuk dilakukan kedepannya.Â
Menciptakan tingkat pendidikan yang merata merupakan langkah pertama dalam membentuk generasi yang unggul dan memiliki daya saing yang tinggi.Â
(Novita Angelina, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sriwijaya Angkatan tahun 2024).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H