Mohon tunggu...
Novita Ekawati
Novita Ekawati Mohon Tunggu... Guru - Pengajar
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pengajar dan aktivis muslimah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Oligarki di Balik Topeng Kebijakan Negara

20 Desember 2023   14:10 Diperbarui: 20 Desember 2023   14:10 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh : Novita Ekawati

Wajah demokrasi dikendalikan dan diinstrumentalisasi oleh segelintir kaum elit dan oligarki. Hal ini dalam rangka melayani kepentingan sebagian mereka. Alih-alih berkoar-koar mengumandangkan kekayaan yang berada di tangan seluruh rakyat, namun pada kenyataannya justru hanya memakan segelintir elite dan oligarki.

Saat ini praktik oligarki menjadi semakin kompleks yang ditandai dengan fenomena desentralisasi oligarki. Desentralisasi oligarki adalah sebuah fenomena yang ditandai dengan meluasnya keterlibatan para oligarki, bukan hanya untuk konteks pemerintah pusat, melainkan juga sampai pada upaya untuk mempengaruhi kehidupan dan kebijakan pemerintah daerah, membajak semua elemen fundamental di Indonesia. Seperti pemilu, partai politik, dan media massa. Pemilu yang mahal, partai politik yang bersemangat pragmatis karena hanya mengejar keuntungan, dan media massa yang hanya mencari keuntungan politis-ekonomis menjadi lahan subur bagi pertumbuhan kerja para oligarki. Belum lagi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan sama sekali tidak pro terhadap kepentingan rakyat tetapi hanya semata-mata untuk kepentingan segelintir orang demi mempertahankan status quo.

Pembentukan dari RUU KPK, KPK nampaknya juga dianggap sangat menganggu gerakan dan tatanan oligarki, maka mereka mempreteli UU KPK menjadi salah satu jalan bagi mereka untuk bertahan dan berkembang. Dalih ingin memperkuat pemberantasan korupsi, sejumlah otoritas utama KPK diamputasi. Salah satunya, dengan menempatkan KPK sebagai rumpun eksekutif, membuat hak-hak KPK berada di ujung tanduk.

Begitupun dalam UU ITE, ringkasnya adalah bagian dari sandiwara oligarki media dengan pemerintah untuk dibedakan/membungkam ruang kritik masyarakat sipil . Dimana setiap orang yang berusaha mengusik hubungan mesra antara kapital dengan negara akan diperhadapkan dengan pasal keranjang sampah dengan tuduhan ataupun melakukan pencemaran nama baik. Dan masih banyak lagi kebijakan-kebijakan negara lainnya yang terindikasi kuat tidak akan berpihak pada rakyat selain hanya kepada para elit penguasa dan para oligarki.

Pembentukan UU Cipta Kerja dan UU MINERBA. UU Cipta Kerja tersebut (termasuk UU Minerba) ringkasnya hanya berfokus pada kebutuhan pasar. Secara kasat mata, dapat dibaca bahwasannya "Ruh" UU Cipta Kerja hendak menyuburkan iklim kemudahan yang dicoba melalui kompensasi pekerja dan lingkungan. UU Cipta Kerja dan merupakan rangkaian upaya dari pemerintah untuk memberikan karpet merah kepada pengusaha tambang, yang dimana segelintir dari mereka adalah pengusaha tambang, ini merupakan mesin oligarki untuk menguasai lingkungan dan lagi-lagi mengorbankan rakyat dan lingkungan.

Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang secara terang-terangan melegalkan perusakan lingkungan oleh pengusaha tambang secara terstruktur dan masif untuk sebesar-besarnya kemakmuran elit dan penguasa. Hal ini mengindikasikan bahwa UU Minerba Baru merupakan hasil kompromi antara elit pengusaha dan penguasa, praktik inilah yang dikenal dengan state capture corruption. State capture corruption merupakan manipulasi pembuatan kebijakan dan aturan yang main muncul termasuk hukum dan peraturan ekonomi oleh penguasa dan/atau pengusaha kuat untuk keuntungan mereka sendiri.

Keuntungan tersebut tampak pada ketentuan mengenai cakupan wilayah pertambangan, dimana cakupannya menjadi tanpa batas sehingga berpotensi dieksploitasi habis-habisan oleh pengusaha tambang guna memperoleh untung sebesar-besarnya tanpa mempedulikan risiko bencana ekologis yang mengikutinya. Ketentuan tersebut juga telah mengakibatkan lebih dari 11 juta hektar ruang hidup dan wilayah kelola rakyat dijarah oleh investasi pertambangan, pertambangan di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil juga mengakibatkan lebih dari 35 ribu keluarga nelayan terdampak dan terancam ruang hidupnya, dan mengakibatkan wilayah perairan di 3.197 tercemar oleh limbah pertambangan (WALHI, 2022).

Kongkalikong antara penguasa dan pengusaha tambang semakin menguat dengan dihilangkannya pengaturan mengenai ancaman pidana bagi pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangannya. Laporan dari Indonesia Corruption Watch (ICW) pada semester pertama 2020 menyebutkan bahwa kerugian negara akibat korupsi kekayaan alam mencapai hampir Rp30,5 miliar, dimana kerugian tersebut hanya berasal dari lima kasus korupsi, yaitu masing-masing dua di sektor tambang dan energi, dan satu di sektor kehutanan (Pusat Edukasi Antikorupsi, 2023).

Semua fakta diatas adalah gambaran buruk wajah demokrasi yang takkan pernah bisa terlepas dari oligarki dan nepotisme.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun