Oleh : Novita EkawatiÂ
Jika sama-sama cinta belum tentu satu visi. Kalau sudah satu visi, pasti selalu ada cinta.
Samakan tujuan dalam menikah, lalu melangkah, maka akan ada cita-cita yang selalu dikejar dan dijaga.
Menikah bukan berarti menyatukan dua insan yang tak pernah bersalah, menerima bahwa mereka sama-sama punya kurang, tapi keduanya sadar bahwa tujuannya sama.
Asal keduanya menuju pada tujuan yang satu, maka takkan terlepas ikatannya.
Kekurangan bisa ditutupi, kelebihan bisa ditambahkan, semua bisa dihadapi.
Bila yang satu lelah, yang lain membopong, bila yang satu gontai yang lain menyemangati, yang satu gundah yang lain menenangkan, berdua bersama berjalan. Itulah rumah tangga.
Sesempurna apapun, bila sudah beda jalan, akan jadi masalah. Sedekat apapun bila sudah berbeda jalan, pasti akan berpisah. Maka tujuannya yang harus sempurna. Bila tujuannya sempurna, maka perjalanan jadi punya makna, teman dalam perjalanan jadi bernilai, senantiasa dihargai, itulah rumah tangga.
Dimana menikah jadi ibadah,
 jika yang satu di depan dia menanti,
Jika di belakang maka dia menjaga,
Jika di samping maka dia menemani,
jika di bawah mendukung,
jika di atas memayungi.
Dan tak ada tujuan lebih baik selain menjadikan pernikahan itu layaknya ibadah.
Semoga Allah persatukan kita dalam ukhuwah, dan senantiasa diberikan keberkahan dalam setiap aktivitas kita.
*** dalam Madzhab al-Hanafiyah, al-Syafi'iyyah dan al-Hambali, selain aspek agama, mereka menambahkan beberapa aspek lain sebagai aspek sekufu' Â yang memang harus dijadikan pertimbangan dalam menerima seorang calon pasangan hidup, yaitu:
Pertama, al-Diin (agama), kedua, al-Hurriyah (merdeka atau bukan budak), ketiga, al-Nasab (Keturunan), dan keempat, al-Hirfah (Profesi atau strata sosial).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H