Oleh : Novita Ekawati
Sejak tanggal 12 Januari 2021 Kalimantan Selatan mengalami musibah banjir. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan, 10 kabupaten/kota terdampak banjir di Provinsi Kalimantan Selatan. Daerah tersebut adalah: Kabupaten Tapin, Kabupaten Banjar, Kota Banjar Baru, Kota Tanah Laut, Kota Banjarmasin, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Balangan, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, dan Kabupaten Batola. (Â www.m.bisnis.com , 18/01/21)Â
Tingginya curah hujan bukan hanya satu-satunya penyebab banjir di Kalimantan Selatan, hilangnya daerah resapan air menjadi penyebab utama dikarenakan rusaknya alam dan ekosistem di hampir seluruh wilayah Kalimantan Selatan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengatakan telah terjadi penurunan luas hutan alam di Kalimantan Selatan yang mencapai 62,8%, dimana berkurang jumlah hutan primer dan sekunder dalam 10 tahun terakhir.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Selatan juga mencatat 50% dari lahan di Kalimantan Selatan telah beralih fungsi menjadi tambang batubara dan perkebunan sawit, dari 3,7 juta hektare (ha) luas Kalsel, sebanyak 1,2 juta atau 33% lahan di Kalsel dikuasai oleh pertambangan batubara. Lalu, sekitar 620.000 ha atau 17% lahan di Kalsel dikuasai oleh Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit berskala besar. ( www.bbc.com , 18/01/21 )
Selain tambang batubara dan perkebunan sawit, di Kalsel juga terdapat Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) atau Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Luasan IUPHHK-HA mencapai 234.000 ha, sedangkan HTI seluas 567.000 ha.Â
Angka itu mencapai 20% dari luas Kalsel. Jika ditotal dengan lahan pertambangan batubara dan perkebunan sawit, maka luasnya mencapai sekitar 2,6 juta ha. Sehingga kalau digabung, hampir 70% wilayah Kalsel sudah dikavling oleh para korporasi. ( www.kontan.co.id , 20/01/21)
Korporasi di atas tahta, rakyat menderita
Tahun 2020, DPR & Pemerintah mengesahkan revisi UU Minerba di tengah Pandemi demi menyelamatkan industri tambang batubara. Bagaimana UU Minerba dan UU Cipta Kerja berkontribusi membuat bencana banjir seperti di Kalsel lebih parah dan akan lebih sering terjadi di masa depan?Â
Salah satu perusahaan batubara yang baru saja merasakan 'kenikmatan' UU Minerba adalah PT Arutmin Indonesia, yang kontraknya diperpanjang untuk beroperasi dalam jangka waktu 2x10 tahun di lahan lebih dari 57.000 hektare di Kalimantan Selatan. Lalu PT Adaro yang memiliki konsesi tambang batubara 31.380 hektar di KalSel juga dapat perpanjangan izin. Tak hanya mengatur perpanjangan izin, UU Minerba juga mengatur fleksibilitas perluasan lahan hanya dengan persetujuan menteri.Â
Melalui UU Cipta Kerja, Industri Batubara diberikan royalti 0% meningkatkan nilai tambah produksinya. Padahal regulasi sebelumnya perusahaan wajib membayar royalti hingga 7% dari laba bersih pada pemerintah pusat/daerah & menjual 25% batubara ke pasar domestik dengan harga rendah. UU Cipta Kerja juga telah menghapus ketentuan 30% kawasan hutan. Padahal dalam lima puluh tahun terakhir, lebih dari separuh hutan hujan Kalimantan telah dihancurkan. Bukannya direhabilitasi kembali menjadi hutan, kini malah berganti hamparan perkebunan sawit dan lubang tambang batubaraÂ
Penguasa yang telah didikte para korporasi telah mengorbankan prinsip tata kelola lingkungan termasuk menyia-nyiakan hasil kajian ilmiah dan diskusi para intelektual untuk mewujudkan kelestarian lingkungan.
Kapitalisme membebaskan individu untuk menguasai apa yang menjadi kepemilikan umum bahkan memiliki aset negara sekalipun (hurriyatul milkiyyah). Negara bahkan memfasilitasi individu ataupun kelompok elit tertentu untuk menguasai sejumlah aset melalui kebijakan-kebijakan yang dibuatnya, meski hal tersebut mengganggu dan merusak hajat hidup orang banyak. Kapitalisme adalah berpihak pada kepentingan pemodal. Maka selama kita mengadopsinya, selama itu pula hak rakyat akan terus dirampas.
Pengelolaan lingkungan dari negara sudah seharusnya mencegah tata kelola lingkungan yang lahir dari kerakusan dan sifat konsumerisme manusia. Hutan harus didudukkan sebagai harta milik umum. Sebab, faktanya hutan secara umum memiliki fungsi ekologis dan hidrologis yang dibutuhkan jutaan orang.
Sehingga, negara tidak dibenarkan memberikan hak pemanfaatan istimewa berupa hak konsesi dan lainnya kepada individu ataupun perusahaan, baik untuk pembukaan tambang, perkebunan sawit, dan lain sebagainya yang mengancam kelestarian lingkungan. Maka jelas, negara adalah pihak yang berwenang dan bertanggung jawab langsung lagi sepenuhnya dalam pengelolaan hutan, menjauhkannya dari aspek eksploitatif dalam pemanfaatan sumber daya alam untuk mencegah kerusakan terjadi di bumi ini. Sebagaimana firman Allah ta'ala yang sudah mengingatkan kita semua,
"Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" {QS. Ar-Rum Ayat 41}.
Wallahu a'lam ..[ ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H