Aroma laut sangat kental menyeruak menusuk ke dalam penciuman saya ketika kaki melangkah memasuki lokasi TBA (Taman Bacaan Anak). Aroma ini kini mulai terbiasa dengan penciuman saya sehingga rasa ini pun saya nikmati.Â
Berbeda tatkala pertama kali saya datang ke lokasi TBA ini yang persis bersebelahan dengan TPI (Tempat Pelelangan Ikan). Saya selalu repot mencari selembar tissue dalam tas untuk menutup hidung saya agar bisa mengurangi bau amis ikan laut yang sangat menyengat.
Hal ini menunjukkan kecintaan dari para pemilik dan penumpang perahu akan kecintaannya pada negeri ini. Salah satu karakter yang sudah melekat pada jiwa mereka yang harus terus ditanamkan pada putra putri mereka khususnya dan anak negeri Indonesia pada umumnya.
Nama-nama desa yang unik menjadi familiar dengan keseharian saya. Alhamdulillah, semakin menambah wawasan bagi saya tentang daerah bahari yang ada di daerah Cirebon Timur. Dari para relawan, saya banyak belajar tentang banyak hal.Â
Mereka yang mengawal dan membimbing anak-anak usia sekolah di TBA setelah jam belajar berakhir. Luar biasa kiprah mereka dalam ikut mencerdaskan anak bangsa.
Kendaraan ini mereka sebut dengan nama "Odong-odong", begitu kata sopir sekaligus pemilik kendaraan ini yang selalu setia mengantar dan menjemput anak-anak pengunjung TBA dari rumah hingga kembali lagi ke rumah, tentunya dengan seizin dan sepengetahuan orangtuanya masing-masing. Sopir setia itu bernama Pak Rasim, berusia 44 tahun.
Ketika anak-anak Waruduwur ingin berkunjung ke TBA, mereka harus menggunakan angkutan umum yaitu kendaraan elf. Kemudian mereka harus menyeberangi jalan pantura untuk sampai ke TBA baik setiap datang maupun pulang. Jalan pantura dengan volume kendaraan sangat ramai dengan kecepatan rata-rata sangat kencang. Hal ini tentunya sangat riskan bagi keselamatan mereka.Â
Beranjak dari pertimbangan tersebut dan atas permintaan orang tua mereka serta disambut semangat oleh Pak Rasim, akhirnya Pak Rasim menjadi sopir odong-odong yang setia menjadi pengawal mereka. Anak-anak pesisir yang ingin berkembang dan maju dalam hal pendidikan melalui kegiatan literasi yang dikemas dalam wadah Taman Bacaan Anak.
Dalam beberapa kali kesempatan berbincang dengan Pak Rasim, banyak hal kebaikan yang telah dia lakukan. Selain kesetiaan mengawal anak-anak juga, dia memiliki jiwa sosial yang cukup tinggi. Ketika saya tanya, "Berapa ongkos yang harus orangtua bayar untuk mengantar dan menjemput mereka?" dan Pak Rasim menjawab, "Hanya tiga ribu rupiah saja Bu".
Setiap anak yang berjumlah antara 15-20 orang setiap berkunjung ke TBA itu diberi uang saku oleh orangtua rerata lima ribu rupiah. Tiga ribu buat odong-odong sisa dua ribu rupiah buat jajan mereka di TBA saat jeda istirahat. Tidak semua anak dibekali uang oleh orangtuanya, tetapi mereka tetap saya angkut tanpa dimintai ongkos perjalanan.Â
"Kasihan Bu, mereka pada ingin datang ke TBA," begitulah penjelasan Pak Rasim. Tidak hanya sebatas itu yang Pak Rasim lakukan, ketika hujan deras dan kesehatan dia juga sedang terganggu, tetapi tetap mengantar mereka untuk datang ke TBA. Â Subhanallah...dari seorang Pak Rasim saya banyak belajar tentang rasa kepedulian.
Saya sampai kagum menyaksikannya. Dan satu kalimat membuat kaget dan membuyarkan pandangan saya, "Bu Novi, mau saya fotokan juga, bagus pemandangannya Bu, perahu-perahu nelayan?" Pak Rasim menawarkan diri. Hehe...boleh boleh Pak, dengan senang hati. "Siap ya Bu, nengok ke sini...jepret...jepret...jepret...dapet 3 kali Bu," begitu aksi Pak Rasim saat memotret. Itulah sisi lain Pak Rasim yang hobi memotret juga, beberapa video yang dia buat sering diupload ke youtube. Keren yah dia?!
Begitulah bincang-bincang sesaat dengan Pak Rasim yang mencuri perhatian saya di TBA kali ini. Peran dia yang tidak sekedar mengantar dan menjemput anak-anak ke TBA saja, tetapi kepedulian dalam hal sosial patut diacungi jempol Â
Peran yang tidak sedikit namun seringkali luput dari perhatian. "Terima kasih Pak Rasim atas bantuannya sehingga TBA makin ramai dengan kehadiran mereka, hati-hati bawa anak-anak di perjalanan, semoga selamat sampai di rumah orang tua masing-masing," saya mengakhiri perbincangan.Â
Saya semakin meyakini bahwa jika ketika kita menabur kebaikan pasti akan menuai pula banyak kebaikan walaupun kita belum tahu kapan akan menuainya. Biarkanlah itu menjadi rahasia Illahi.
Terima kasih buat pembaca yang telah berkenan menyimak tulisan saya ini.
Salam Bahagia Selalu..
Cirebon, 06012019
Novi Nurul Khotimah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H