Mohon tunggu...
Novi Lestiani
Novi Lestiani Mohon Tunggu... Mahasiswa - 22107030010_UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Semoga suka sama tulisan yaaa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Argumentasi Masyarakat Terkait Pejabat Pamer Harta di Media Sosial

3 April 2023   09:10 Diperbarui: 3 April 2023   09:14 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari artikel seorang pejabat yang memamerkan hartanya dimedia sosial tersebut, menurut pandangan saya, adanya pandangan warganet bongkar kekayaan pejabat yang suka pamer di media sosial masuk kedalam Tradisi Kritis, Tradisi Sosiokultural dan Tradisi Retorika.

Tradisi Kritis itu sendiri muncul karena banyaknya asumsi publik yang memerhatikan adanya kesenjangan pada masyarakat itu sendiri. Tradisi ini menganggap bahwa komunikasi adalah usaha-usaha perlawanan dari suatu ketidak adilan.
Menurut saya, fenomena ini ditandai dengan adanya kelompok yang kuat atas yaitu pejabat dan kelompok yang lemah yaitu masyarakatnya. Masyarakat masuk kedalam kelompok yang lemah, dikarenakan mereka tidak memiliki kekuasaan untuk dapat memecahkan masalah tersebut. Pejabat yang memiliki kekuasaan tertinggi tersebut, secara tidak langsung pasti menjadi kelompok yang kuat atas atau biasa disebut mayoritas.
Masyarakat yang mengalami kemiskinan merupakan dampak dari para pejabat yang tidak melakukan transparansi atas apa yang ia dapatkan. Padahal realita ekonomi penduduk disini masih tidak merata.

Dengan adanya fenomena pejabat yang memerkan harta di media sosial tersebut, membuat masyarakat bisa menjadikan hal tersebut sebagai acuan untuk mengungkap kebenaran atas harta yang didapatkan para pejabat secara transparan. Kasus Rafael Alo Trisambodo terbuat karena dimulai dari sang putera yang mulai memamerkan kehidupan mewah dengan barang- barang brandednya. Akibat dari ulah tersebut, kini Rafael mulai diperiksa oleh KPK karena kemewahan yang dipamerkan oleh para pejabat itu tidak sesuai dengan profil dan kekayaan yang dilaporkan pada Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara ( LHKPN).

Marxisme merupakan peletak dasar dadi tradisi ini, dimana Kritik Politik Ekonomi yang merupakan revisi terhadap Marxisme yang terlalu menyederhanakan realitas kedalam dua kubu yaitu kalangan penguasa dan kalangan tertindas. Fenomena tersebut merupakan komunikasi yang dilakukan di sosial media yang menjelaskan permasalahan sosial dan politik ekonomi yang bertujuan untuk mengungkapkan ketidakadilan kepada masyarakat. Hal ini juga dapat dianggap sebagai bentuk kritik sosial yang akan mendorong orang lain atau publik lebih peduli terhadap masalah sosial atau politik yang sedang marak terjadi.

Fenomena tersebut juga masuk kedalam Tradisi Sosiokultural, dimana tradisi ini mencakup aspek budaya, struktur sosial dan hubungan kekuasaan dalam interpretasi komunikasi. Perilaku pejabat yang suka memamerkan harta kekayaan disosial media dianggap sebagai meremehkan nilai-nilai budaya yang ada di Indonesia. Masuk kedalam struktur sosial, kekayaan yang dimiliki setiap kelompok kerap menjadi kekuasaan dalam satu masyarakat itu sendiri. Hal ini, yang kemudian dapat memicu rasa ketidakpuasan dikalangan warganet, yang beranggapan bahwa harta yang dimiliki oleh pejabat tersebut merupakan hasil dari penggelapan dana atu korupsi.

Selanjutnya masuk juga kedalam Tradisi Retorika, yang dapat memberikan perhatian pada aspek proses pembuatan pesan. Tradisi Retorika dalam pemilihan struktur, kata ataupun penggunaan gaya bahasa dianggap sangat penting karena dapat mempengaruhi audiens. Pada fenomena tersebut ada 3 hal yang terdapat didalamnya yaitu logika(logos), emosi (patos) dan kredibilitas (ethos).

Logika dalam fenomena tersebut yaitu adanya bukti yang mendukung yang lebih meyakinkan warganet karena tidak adanya transparansi LHKPN milik para pejabat. Warganet mengungkapkan fakta-fakta yang relevan mengenai kekayaan tersebut, yang bertujuan agar dapat mempengaruhi opini publik terhadap pejabat tersebut.

Emosi dalam fenomena tersebut yaitu bukti emosional dalam fenomena tersebut yang berupa kemarahan atau rasa ketidakpuasan atas hasil yang ditampilkan oleh tokoh negara tersebut, biasanya emosi juga dapat mempengaruhi bagaimana cara netizen menyampaikan argumennya dalam bersosial media.

Kredibilitasnya yaitu, dalam penyampaian argumen dengan menggunakan bahasa atau gaya yang baik juga dapat menggunakan fakta atau bukti yang benar-benar akurat agar kredibilitasnya terjamin. Seperti, keterangan Firman sebagai pakar dalam komunikasi atas rasa ketidakpuasan datang berawal dari pengalaman langsung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun