Mohon tunggu...
Novi Setyowati
Novi Setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Dilema Kram Perut dan Cuti Bulanan bagi Perempuan

11 Juni 2021   11:47 Diperbarui: 11 Juni 2021   13:44 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kram perut (Sumber gambar: Pexels/Ivan Samkov)

Bagi para perempuan, pasti sudah tak asing lagi dengan fenomena kram perut yang kerap terjadi setiap bulannya. Rasa nyeri yang menimpa sangatlah membuat tidak nyaman dalam beraktivitas.

Inginnya sudah pasti berdiam diri saja sambil menelungkupkan badan hingga rasa nyeri tersebut pergi dengan sendirinya. Atau, berdiam diri saja tanpa harus banyak bergerak kesana-kemari.

Namun, kram perut menjadi dilema tersendiri tatkala masih ada kewajiban yang harus dipenuhi oleh para kaum hawa yang berprofesi sebagai wanita karir. Perihal cuti tak semudah yang dibayangkan saat kram perut melanda. 

Belum lagi alasan-alasan lainnya yang membuat kesan izin kerja karena kram perut tak elok untuk dilakukan. Padahal, jika nyeri kram perut tak lagi bisa dibendung, izin kerja meski hanya satu hari saja rasanya patut untuk dilakukan.

Tapi, ada saja alasan yang menjadi dilema hingga akhirnya tetap memutuskan untuk bekerja sembari menahan nyeri yang tak tertahankan.

Mengapa demikian?

Banyaknya beban pekerjaan yang harus diselesaikan

Tidak dapat dipungkiri bahwa tanggung jawab di tempat kerja menjadi penghalang tersendiri bagi kaum hawa yang sedang dilanda kram perut.

Adanya kekhawatiran akan tumpukan pekerjaan ataupun tanggung jawab yang memang tak bisa ditinggalkan memaksa kaum hawa untuk, mau tak mau, menghiraukan rasa nyeri yang sedang menimpanya. Alhasil, performa di kantor bisa saja terganggu akibat harus menahan rasa sakit seharian penuh.

Mau menyalahkan kram perut, tidak bisa. Itu sudah kodrat yang harus diterima oleh sebagian besar kaum hawa yang sedang datang bulan.

Mau menyalahkan pekerjaan yang tiada habisnya, tidak mungkin juga. Itu sudah tanggung jawab yang otomatis melekat saat memutuskan untuk menjadi wanita karir.

Pada akhirnya, demi menjaga profesionalisme, banyak wanita di luar sana yang tetap aktif bekerja meski kram perut tak lagi tertahankan.

Ilustrasi kram perut (Sumber gambar: Pixabay/nastya_gepp)
Ilustrasi kram perut (Sumber gambar: Pixabay/nastya_gepp)
Tuntutan profesi

Jika pada profesi tertentu masih sah-sah saja untuk melakukan cuti setiap bulannya, sebut saja seperti pekerjaan kantoran, maka tidak demikian dengan beberapa profesi tertentu lainnya yang rasanya akan menjadi keanehan tersendiri jika harus cuti setiap bulan.

Misalnya saja, profesi seorang guru.

Saya kerap teringat dengan Guru Kimia saya saat masih duduk di bangku sekolah menengah dulu. Beliau yang kebetulan seorang perempuan ini terlihat sangat berjuang keras pada suatu hari tertentu setiap bulannya.

Kami yang notabene siswa perempuan pun sangat memahami apa yang beliau rasakan. Bagaimana tidak? Raut wajah yang biasanya berseri selalu terlihat pucat dan menahan perih dari kram perut yang melanda.

Belum lagi, tantangan yang beliau hadapi lainnya adalah untuk terus aktif menjelaskan pelajaran sambil sesekali berjalan bolak-balik dari tempat duduknya ke papan tulis demi menjelaskan jawaban dari soal tertentu.

Ditambah lagi, jika kelas sangat gaduh dengan suara siswa-siswi yang sedang bercengkerama. Duh, bisa dibayangkan semakin pusing rasanya kepala ini.

Dilema yang beliau alami sungguhlah sangat wajar. Di satu sisi menginginkan hari yang tenang tanpa banyak bergerak.

Tapi di sisi lain, profesi yang digelutinya menuntutnya untuk tetap aktif kesana-kemari, bergerak dari satu kelas ke kelas lainnya demi menularkan pengetahuan yang dimilikinya pada anak didiknya.

Lagi-lagi, untuk menjaga profesionalisme, seorang guru tetap harus aktif mengajar meski sedang dilanda kram perut.

Sungkan pada rekan kerja lainnya

"Emang sesakit itu, ya?"

"Ah, lebay banget sih pake izin segala!"

"Ah, aku juga pernah kram perut tapi nggak sampe cuti, tuh!"

Inilah contoh faktor-faktor lain yang menghalangi kaum hawa untuk tidak mengambil izin kerja saat sedang mengalami kram perut. Pikiran-pikiran tak sama di luaran sana membuat rasa sungkan atau tak enak jika harus izin bekerja. 

Bukan hanya dari kaum lelaki, melainkan dari kaum perempuan lainnya pun bisa saja tercetus komentar-komentar tak nyaman yang membuat enggan untuk mengakui nyeri yang sedang dideritanya.

Ya, dewasa ini, meski fenomena keperempuanan sudah semakin sering digaungkan, tapi masih banyak juga yang menganggap topik ini sebagai tabu untuk dibahas. Salah satunya ya, topik tentang menstruasi ini.

Padahal, pada hakikatnya, terdapat unsur edukasi di dalam pengetahuannya yang bisa menumbuhkan rasa empati sekaligus pemahaman terhadap keperempuanan yang hanya bisa dirasakan oleh para perempuan itu sendiri.

Pun demikian halnya pada kaum perempuan lainnya. Tidak mengalami kram perut atau bisa menoleransi kram perut yang dideritanya bukan berarti harus menyamaratakannya dengan setiap perempuan lainnya.

Lagi-lagi, anatomi setiap individu berbeda dengan individu lainnya. Dan semua hal tersebut jelaslah terhitung unik. 

Ilustrasi kram perut (Sumber gambar: Pixabay/unknownuserpanama)
Ilustrasi kram perut (Sumber gambar: Pixabay/unknownuserpanama)
Sementara pada kebanyakan kasus yang terjadi, tak banyak yang dapat memahami dan juga berempati pada hal-hal semacam ini. Alhasil, yang semakin marak terjadi justru menjadikan dirinya sebagai sebuah tolok ukur atas individu lainnya dan menafikan apa yang menjadi derita orang lain.

Tidak adanya pemahaman terhadap esensi kram perut misalnya, akan membuat para perempuan yang sedang mengalaminya untuk enggan menceritakannya dan, terlebih lagi bagi para staf perempuan, enggan untuk mengambil izin kerja.

"Sungkan dengan yang lain", bisa jadi alasan utama yang mendasarinya dan membuat izin kerja tak perlu dilakukan saat nyeri haid melanda.

Tetapi, sebenarnya dengan adanya edukasi permasalahan keperempuanan, izin kerja bulanan bisa jadi tak masalah, lho!

Salah seorang sahabat laki-laki saya pernah berkata, "Dulu aku secetek itu melihat perempuan sedang kram perut. Ah, lebay banget sih! Ternyata katanya sakit banget, ya?".

Kalaupun dengan pemahaman yang baik masih membuat sungkan untuk izin kerja, ada baiknya juga sekedar memberitahukan pada rekan kerja jika sedang kram perut agar tetap tumbuh toleransi di tempat kerja.

Ilustrasi kram perut (Sumber gambar: Pexels/Ivan Samkov)
Ilustrasi kram perut (Sumber gambar: Pexels/Ivan Samkov)
Saat kantor mengizinkan untuk cuti

Suatu hal yang melegakan jika kantor tempat kita bekerja turut mengakui pemberian izin kerja bulanan bagi para staf perempuan. Hal ini menandakan bahwa perihal kram perut ini bukan lagi hal yang tabu di tempat kerja tersebut.

Seperti kantor tempat saya bekerja dulu, yang memberikan jatah cuti kerja satu hari setiap bulannya bagi para staf perempuan yang membutuhkannya.

Karenanya, penting bagi para staf perempuan untuk menanyakan kepada staf terkait, HRD misalnya, jikalau cuti semacam ini tersedia di kantor tersebut.

Selain membuat lega jika sewaktu-waktu membutuhkannya, tentu hal semacam ini tak akan lagi pernah menimbulkan rasa sungkan pada kolega lainnya jika memang terpaksa harus beristirahat di rumah saja.

Solusi jika tetap tak bisa izin kerja

Jika memang terpaksa harus tetap masuk kerja dengan menahan sakit, mau tak mau kita harus aktif mencari solusi dari nyeri yang sedang melanda. Misalnya dengan obat pereda nyeri, kompres air hangat, atau menimimalisir pergerakan di dalam kantor.

Saya pun pernah mengalaminya. Alih-alih izin kerja atau pulang cepat, saya lebih memilih untuk berdiam diri saja di kursi meja kerja kantor sambil terus mengompres bagian perut dengan air hangat. Meski tetap tak nyaman, asal pekerjaan tetap selesai dan kram perut pun bisa berdamai sedikit demi sedikit.

Pada masa-masa WFH seperti sekarang ini, mungkin tak begitu menjadi masalah. Karena kita masih bisa mengatur posisi kerja kita dengan yang ternyaman, bahkan saat sedang dilanda kram perut sekalipun.

Namun, saat semua kantor telah kembali normal, hal-hal semacam ini pastilah lagi-lagi membuat dilema yang tak mudah. 

Ah, lagi-lagi, ternyata profesionalisme di tempat kerja menuntut untuk mengalahkan dilema kram perut ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun