Mohon tunggu...
Novi Setyowati
Novi Setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Dilema Kram Perut dan Cuti Bulanan bagi Perempuan

11 Juni 2021   11:47 Diperbarui: 11 Juni 2021   13:44 864
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kram perut (Sumber gambar: Pixabay/nastya_gepp)

Sungkan pada rekan kerja lainnya

"Emang sesakit itu, ya?"

"Ah, lebay banget sih pake izin segala!"

"Ah, aku juga pernah kram perut tapi nggak sampe cuti, tuh!"

Inilah contoh faktor-faktor lain yang menghalangi kaum hawa untuk tidak mengambil izin kerja saat sedang mengalami kram perut. Pikiran-pikiran tak sama di luaran sana membuat rasa sungkan atau tak enak jika harus izin bekerja. 

Bukan hanya dari kaum lelaki, melainkan dari kaum perempuan lainnya pun bisa saja tercetus komentar-komentar tak nyaman yang membuat enggan untuk mengakui nyeri yang sedang dideritanya.

Ya, dewasa ini, meski fenomena keperempuanan sudah semakin sering digaungkan, tapi masih banyak juga yang menganggap topik ini sebagai tabu untuk dibahas. Salah satunya ya, topik tentang menstruasi ini.

Padahal, pada hakikatnya, terdapat unsur edukasi di dalam pengetahuannya yang bisa menumbuhkan rasa empati sekaligus pemahaman terhadap keperempuanan yang hanya bisa dirasakan oleh para perempuan itu sendiri.

Pun demikian halnya pada kaum perempuan lainnya. Tidak mengalami kram perut atau bisa menoleransi kram perut yang dideritanya bukan berarti harus menyamaratakannya dengan setiap perempuan lainnya.

Lagi-lagi, anatomi setiap individu berbeda dengan individu lainnya. Dan semua hal tersebut jelaslah terhitung unik. 

Ilustrasi kram perut (Sumber gambar: Pixabay/unknownuserpanama)
Ilustrasi kram perut (Sumber gambar: Pixabay/unknownuserpanama)
Sementara pada kebanyakan kasus yang terjadi, tak banyak yang dapat memahami dan juga berempati pada hal-hal semacam ini. Alhasil, yang semakin marak terjadi justru menjadikan dirinya sebagai sebuah tolok ukur atas individu lainnya dan menafikan apa yang menjadi derita orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun