Mohon tunggu...
Novi Setyowati
Novi Setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Dari Kacamata Si Bungsu yang Tak Kenal Sibling Rivalry

21 April 2021   18:36 Diperbarui: 22 April 2021   12:49 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kami tak berbagi masa kecil atau mainan yang sama. Pun juga masa-masa remaja dan masa puber, tak dilalui bersama. Kasih sayang orang tua yang diberikan pada kadar yang berbeda, juga diberikan pada masa yang tak bersamaan. 

Terlahir sebagai si bungsu dari tiga perempuan bersaudara, perlu waktu lama bagi saya berpikir tentang sibling rivalry. Perbedaan usia yang terpaut jauh, mungkin saja adalah salah satu alasan saya tak mengenal persaingan antar saudara.

Beda usia yang saya miliki dengan kakak-kakak perempuan saya lainnya adalah 13 tahun dan juga 9 tahun. Hmm, kurang bungsu apa lagi coba keberadaan saya di persaudaraan ini?

Mungkin karena statusnya yang memang terlalu bungsu, saya tak banyak memperhatikan persaingan dengan dua kakak perempuan saya ini. Pasalnya, kami tak berbagi ruang dan waktu yang sama.

Saat saya sibuk bermain-main, mereka justru disibukkan dengan kegiatan sekolah dan kuliah. Saat saya disibukkan dengan kegiatan sekolah dan masa-masa remaja, mereka sudah beranjak dewasa dan sibuk dengan karir yang sedang dijalaninya. Saat saya dapat menikmati hidangan Ibu di meja makan dengan lahapnya, mereka telah menetap di kota lain dengan makanan santapannya masing-masing.

Rasa-rasanya tak ada alasan bagi saya memikirkan persaingan antar saudara karena kami berbagi masa yang berbeda.

Namun, ada satu hal penting yang mulai saya sadari setelah beranjak dewasa. Yakni, daripada sibling rivalry, saya justru melihat banyak pembelajaran dari perbedaan karakter dan cara menyikapi permasalahan dalam kehidupan dari persaudaraan ini.

Antara Si Sulung dan Si Tengah

Banyak yang menyampaikan bahwa lingkungan keluarga berpengaruh dalam pembentukan karakter. Sepertinya hal ini benar adanya. 

Bukan tanpa alasan, tapi pemicu utama dari perbedaan karakter ini bisa jadi berasal dari beban dan tanggung jawab yang dipikul dalam persaudaraan ini.

Sebut saja si sulung, yang meski tanpa diminta, akan selalu berusaha menjadikan dirinya sebagai sandaran bagi para adik-adiknya tanpa pedulikan situasi dan permasalahan pribadi yang mungkin sedang dipikulnya.

Ilustrasi bersaudara (Sumber gambar: Pixabay/JillWellington)
Ilustrasi bersaudara (Sumber gambar: Pixabay/JillWellington)
Tak ayal, karakter si sulung tercerminkan sebagai seseorang yang cenderung kuat dan mandiri.

Bahkan mungkin, tak ada yang menyangka jika beban yang dipikulnya sangatlah berat karena senyuman dan sikap ringan tangan dalam keluarga yang selalu ia perlihatkan.

Dalam situasi yang lain, si sulung bisa saja diharapkan sebagai garda terdepan dalam setiap permasalahan yang timbul dalam keluarga.

Si sulung, tanpa diketahui oleh banyak orang lainnya, sepertinya adalah pihak yang paling banyak berkorban dan mengalah dalam garis persaudaraan.

Apakah si sulung selalu benar? Tentu saja tidak. Namanya juga manusia, selalu juga ada kesalahan yang diperbuat meski hanya sekecil biji gandum. Tapi siapa peduli, karena 'label si sulung' telah otomatis diterjemahkan sebagai yang seharusnya menanggung banyak tanggung jawab di dalam keluarga.

Adakah yang bisa melepaskan si sulung dari belenggu beban moral dan tanggung jawab dalam persaudaraan dan keluarga? Mungkin ketika hidupnya tak lagi diusik oleh alih-alih "minta tolong" dari para adik-adiknya?

Sementara si tengah, karakter dan pembawaannya justru terlihat lebih bijak dan santai. Mungkin karena beban yang dipikulnya tak sebesar pada 'label si sulung'.

Meski ia sadar betul masih ada si bungsu yang sudah pasti akan membutuhkan keberadaannya sewaktu-waktu, si tengah masih bisa agak santai karena harapan akan si sulung yang selalu ada di sana.

Tak jarang, si tengah juga banyak berlaku sebagai 'penengah'. Terlebih lagi, si tengah banyak melihat dan mengamati apa yang terjadi pada si sulung dan si bungsu.

Sebut saja jika terjadi kesalahpahaman antara si sulung dan si bungsu, tentu si tengah akan menjadi pendengar dari keduanya. Tapi, tak elok rasanya jika si tengah harus memihak pada salah satunya. Jadi, mau tak mau, seringkali si tengah sudah pasti terjepit pada sikap netral yang harus ditampakkan.

Hal ini juga yang sepertinya melatih si tengah untuk menjadi pribadi yang lebih sabar dan juga bijaksana. 

Lalu, bagaimana dengan Si Bungsu?

Banyak yang bilang bahwa si bungsu seringkali dimanjakan, serta dituruti segala keinginannya. Ya namanya saja si bungsu, sudah pasti mendapatkan curahan kasih sayang dalam porsi yang tak lagi dibutuhkan oleh saudara lainnya, terutama jika perbedaan usianya terlalu jauh seperti yang saya alami.

Namun, lebih daripada itu, si bungsu justru melihat dan mengamati banyak hal dari si sulung dan si tengah, yang menjadikannya pembejalaran dalam bersikap.

ilustrasi bersaudara (Sumber gambar: Pixabay/cuncon)
ilustrasi bersaudara (Sumber gambar: Pixabay/cuncon)
Si bungsu memang tak memiliki beban untuk menjadi garda terdepan dalam garis persaudaraan. Tetapi, beban tertentu ternyata bisa muncul dari pengamatannya terhadap si sulung dan si tengah. Sekedar untuk menelaah bagaimana si sulung dan si tengah bersikap.

Seolah harus melengkapi apa yang tak bisa dipenuhi oleh si sulung dan si tengah di lingkungan keluarga, adalah tanggung jawab tersendiri bagi si bungsu.

Hematnya, si bungsu seolah berkewajiban untuk melengkapi apa yang tak bisa diberikan oleh si sulung dan si tengah.

Si bungsu pun melihat banyak hal yang ditampilkan oleh si sulung dan si tengah yang membuatnya berpikir, apa yang baik untuk dilanjutkan, apa ynag harus diperbaiki, serta apa yang seharusnya dihentikan. 

Si bungsu banyak mengamati dan menyimpulkan, termasuk juga memikirkan bagaimana harus bersikap dan melengkapi kekurangan yang ada pada si sulung dan si tengah.

Alih-alih berpikir tentang berebut kasih sayang, perhatian, atau persaingan lainnya, si bungsu justru lebih memikirkan aspek-aspek kekeluargaan yang tak bisa dirangkul oleh si sulung dan si tengah.

Si bungsu memang memiliki banyak kebebasan yang tak dimiliki oleh si sulung dan si tengah karena tak harus memikirkan keberadaan dari saudara yang lebih muda. Tapi, daripada berpikir untuk bersaing, si bungsu justru lebih banyak memikirkan cara untuk melengkapi kekurangan dari si sulung dan juga si tengah. Pada akhirnya, baik si sulung, si tengah, dan si bungsu memiliki tanggung jawab moral yang sama meski porsinya berbeda-beda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun