Kami tak berbagi masa kecil atau mainan yang sama. Pun juga masa-masa remaja dan masa puber, tak dilalui bersama. Kasih sayang orang tua yang diberikan pada kadar yang berbeda, juga diberikan pada masa yang tak bersamaan.Â
Terlahir sebagai si bungsu dari tiga perempuan bersaudara, perlu waktu lama bagi saya berpikir tentang sibling rivalry. Perbedaan usia yang terpaut jauh, mungkin saja adalah salah satu alasan saya tak mengenal persaingan antar saudara.
Beda usia yang saya miliki dengan kakak-kakak perempuan saya lainnya adalah 13 tahun dan juga 9 tahun. Hmm, kurang bungsu apa lagi coba keberadaan saya di persaudaraan ini?
Mungkin karena statusnya yang memang terlalu bungsu, saya tak banyak memperhatikan persaingan dengan dua kakak perempuan saya ini. Pasalnya, kami tak berbagi ruang dan waktu yang sama.
Saat saya sibuk bermain-main, mereka justru disibukkan dengan kegiatan sekolah dan kuliah. Saat saya disibukkan dengan kegiatan sekolah dan masa-masa remaja, mereka sudah beranjak dewasa dan sibuk dengan karir yang sedang dijalaninya. Saat saya dapat menikmati hidangan Ibu di meja makan dengan lahapnya, mereka telah menetap di kota lain dengan makanan santapannya masing-masing.
Rasa-rasanya tak ada alasan bagi saya memikirkan persaingan antar saudara karena kami berbagi masa yang berbeda.
Namun, ada satu hal penting yang mulai saya sadari setelah beranjak dewasa. Yakni, daripada sibling rivalry, saya justru melihat banyak pembelajaran dari perbedaan karakter dan cara menyikapi permasalahan dalam kehidupan dari persaudaraan ini.
Antara Si Sulung dan Si Tengah
Banyak yang menyampaikan bahwa lingkungan keluarga berpengaruh dalam pembentukan karakter. Sepertinya hal ini benar adanya.Â
Bukan tanpa alasan, tapi pemicu utama dari perbedaan karakter ini bisa jadi berasal dari beban dan tanggung jawab yang dipikul dalam persaudaraan ini.