Pada tahun 2017, saya menyempatkan diri untuk melakukan maraton (solo) wisata NTB-NTT. Dari sekian perjalanan yang ditempuh, titik mula dari perjalanan ini dimulai dari Pulau Lombok.
Siapa yang tak kenal Lombok? Nama salah satu pulau yang juga mendunia di mancanegara ini tidak diragukan lagi keindahan pesona alamnya yang menghipnotis.
Sempat diguncang gempa yang cukup hebat pada tahun 2018 silam, Lombok telah bangkit dan menghidupkan kembali pariwisata yang mempesona di sana.
Dan meski masih kalah ramai dengan Bali, saya justru lebih menyukai ketenangan yang ditawarkan oleh Lombok. Ketenangan yang dihadirkan oleh Lombok lah yang menjadikannya lebih spesial daripada Bali meski sama-sama berlokasi di satu deretan kepulauan yang segaris dan juga berdekatan.
Nah, mumpung sudah di Lombok, meski hanya singgah sebentar saja, tak elok rasanya jika tak menyempatkan diri berkeliling pulau ini dengan menyambangi satu dari Trio Gili yang terkenal itu.
Menuju Gili Trawangan
Destinasi wisata yang pertama saya sambangi adalah Gili Trawangan.Â
Pulau yang kecil ini ternyata cukup membuat betah meski padat jumlah pengunjungnya. Jajanan kaki lima seperti gelato dan juga jagung bakar pun tersedia untuk menemani detik-detik menunggu senja di Gili Trawangan.
Banyaknya persewaan sepeda di Gili Trawangan membuat pulau ini juga lebih seru jika dijelajahi dengan bersepeda. Kita pun bisa menyewa sepeda seharian hanya dengan menyertakan alamat penginapan sebagai garansinya.
Oh ya, karena pulaunya yang kecil, bersepeda dalam beberapa jam pun akan membawa kita berkeliling seluruh pulau dengan menyenangkan.
Jika masih ada cukup waktu, bisa juga sambil melanjutkan perjalanan ke dua gili lainnya, yakni Gili Air dan juga Gili Meno. Sayangnya, saya tak punya banyak waktu untuk singgah di gili-gili lainnya sehingga lebih memilih untuk kembali ke pusat kota dan menyempatkan diri untuk singgah di pantai yang tak kalah mempesonanya.
Tanjung Aan - Bukit Merese
Terletak di kawasan Lombok Tengah, pantai ini menawarkan keindahan yang tiada tara. Perpaduan antara perbukitan dan juga pantai pada satu kawasan yang sama menjadi keunikan tersendiri di kawasan ini.
Jika datang pada waktu yang tepat, perbukitan ini akan dipenuhi oleh rerumputan hijau yang asri. Sayangnya, perjalanan saya kala itu belum juga musim penghujan, sehingga perbukitannya pun masih cukup gersang namun tak mengurangi keindahan pantai yang berwarna kebiruan.
Tak banyak yang bisa dilakukan di pantai ini karena terbatasnya fasilitas yang dimiliki. Namun, itulah yang menjadikan pantai ini istimewa karena menawarkan suasana yang tepat hanya untuk bersantai-santai ria di tepi pantai.
Jika beruntung seperti saya saat itu, yakni tak banyak pengunjung yang berdatangan, maka pantai ini sudah serasa pantai pribadi saja! Meski hanya duduk berjam-jam dari pagi hingga sore, saya tak keberatan.
Lalu, mengapa saya memilih Lombok sebagai destinasi pertama dalam maraton wisata kali ini? Sederhana karena akses yang lebih mudah untuk menuju Pulau Kenawa di Sumbawa.
Menuju Pulau Kenawa, Sumbawa
Sebenarnya ada pilihan transportasi lainnya untuk menuju Sumbawa dari Kota Lombok, misalnya dengan bis ataupun pesawat terbang.
Namun, karena lokasi yang ingin saya kunjungi adalah Pulau Kenawa yang bertempat tak jauh dari Pelabuhan Poto Tano, saya pun memutuskan untuk menyeberangi pulau dengan kapal laut. Dan perjalanan laut ditempuh dalam waktu kurang lebih satu jam saja.
Jika melakukan solo wisata seperti saya tanpa kendaraan apapun, setibanya di Pelabuhan Poto Tano akan menjumpai tawaran-tawaran ojek motor yang menawarkan perjalanan hingga Pulau Kenawa.
Harga yang ditawarkan pun termasuk dengan harga sewa kapal ke Pulau Kenawa, dan si empunya ojek inilah yang akan mengantarkan kita pada si pemilik kapal yang juga akan menjadi pemandu kita selama perjalanan ke Pulau Kenawa.
Saya mungkin tak beruntung karena tiba di Pulau Kenawa saat rerumputannya belum menghijau, sama seperti di Bukit Merese tadi. Tapi, keberuntungan saya justru terletak pada menjelajahi pulau ini tanpa seorang pengunjung lainnya!
Alhasil, lagi-lagi saya seperti sedang menjalani liburan pribadi yang mewah karena tak perlu berbagi dengan pengunjung lainnya.
Meski cuacanya sangat terik, angin di Pulau Kenawa bertiup dengan sangat kencang. Karenanya, suasana yang syahdu di pulau ini pun tetap bisa dinikmati dengan seksama, walau dengan, ehm, panas-panasan!
Dari Bukit Kenawa yang tak begitu tinggi itu pun, kita bisa melihat pemandangan lautan di sekitar pulau yang sangat biru. Tak ayal, kita juga akan menjumpai beberapa kapal kecil yang lalu-lalang di sekitaran pulau.
Tak banyak orang berjualan di pulau ini. Hanya ada beberapa warung kecil sekedar untuk berjualan mie instan dan juga es kelapa muda.Â
Si Bapak empunya kapal pun mengatakan bahwa pengunjung belum diperbolehkan untuk berkemah di area pulau karena khawatir dengan keberadaan binatang buas (seperti ular) di padang rumputnya yang lebat itu.
Nah, berhubung sedang di Pulau Kenawa, si Bapak empunya kapal pun menawarkan jikalau saya berminat untuk berkunjung ke Gili Kambing. "Hmm, mumpung sekalian, boleh juga deh sebelum melanjutkan perjalanan ke Sumbawa Besar", pikir saya saat itu.
Kami pun bergegas menuju Gili Kambing, setelah saya puas berjam-jam mengelilingi Pulau Kenawa.
Oh ya, karena arus laut yang cukup deras, speedboat yang kami tumpangi pun melaju dengan cepatnya hingga cipratan air laut tak henti-hentinya menyerang saya. Basah? Tentu saja!
Jadi, jika berkunjung ke sini, pastikan untuk membawa baju cadangan agar tak kebingungan saat harus bercengkerama dengan air laut di sepanjang perjalanannya.
Menuju Gili Kambing
Gili Kambing, dari namanya yang cukup unik ini, memang menarik rasa ingin tahu ada hubungan apa antara bukit ini dengan binatang kambing?
Dan ternyata, konon katanya, dahulu kala bukit ini sering digunakan untuk menggembalakan kambing. Mungkin karena rerumputannya yang sangat lebat, meninggi bak ilalang yang tak pernah dibabat oleh si penggembala kambing.
Bukitnya cukup tinggi dan juga terjal, meski di sepanjang bukit ini terdapat bebatuan yang membantu kita untuk menaiki bukitnya. Menaikinya sih tak masalah ya, mudah saja. Namun, menuruni bukit ini adalah PR terbesar jika berkunjung ke sana.
Pasalnya, kemiringan bukit sudah tak lagi menyerupai 45 derajat, tetapi entah mungkin sekitar 15 ataupun 20 derajat. Jadi, pastikan menggunakan alas kaki yang sangat memadai saat menjelajahi bukit ini. Salah langkah saat menuruninya akan berakibat pada tergelincir ke lautan luas tak bertepi.
Meskipun begitu, saat telah berada di atas bukit, kita akan disuguhkan oleh pemandangan lautan yang membentang luas dengan gradasi warna hijau, biru, dan tosca. Kita juga dapat melihat penampakan dari Pulau Kenawa dari sisi lain pulau ini.
Menarik, bukan?
Menuju Sumbawa Besar
Hari sudah semakin sore tetapi hujan justru turun dengan derasnya. Saya pun tak bisa langsung melanjutkan perjalanan menuju Sumbawa Besar, tetapi harus singgah terlebih dahulu di rumah Bapak pemilik kapal tadi.
Keluarga kecil ini pun berbaik hati untuk menawari saya makan siang hingga kamar mandi gratis, sekedar untuk bersih-bersih diri setelah kehujanan di tengah laut!
Saya sempat khawatir bahwa hujan akan turun hingga malam hari yang jelas sekali akan menghalangi perjalanan saya berikutnya. Pasalnya, si Bapak mengatakan bahwa bis terakhir menuju Sumbawa Besar hanya ada di sore hari. Nah, lho!
Tapi untungnya, sekitar pukul 16.00, hujan sudah berangsur berhenti dan setelah menunggu beberapa menit, ada juga bis yang lewat dari Mataram menuju Sumbawa Besar. Sambil berucap salam perpisahan, saya pun beranjak menuju Sumbawa Besar dengan bis kota sederhana dengan penumpangnya yang padat.
Setibanya di Sumbawa Besar, saya menginap di salah satu rumah milik anggota komunitas Backpacker Sumbawa, yang saya kenal melalui seorang teman di Surabaya.
Nah, ini lah salah satu tips untuk menghemat pengeluaran saat melakukan solo wisata, yakni, perbanyak jaringan perkenalan di mana pun! Karena, siapa tahu kita bisa memotong anggaran penginapan saat melakukan perjalanan wisata dari pertemanan ini. Selain ada teman yang bisa diajak wisata kuliner, kita pun bisa mendapatkan informasi wisata yang lebih akurat dari penduduk asli sekitar hingga menambah teman baru di berbagai pelosok negeri.
Pulau Moyo
Semalam penuh beristirahat di Sumbawa Besar, saya sudah tak sabar keesokan harinya untuk segera menuju Pulau Moyo.
Tak jauh dari pusat kota Sumbawa Besar, kita bisa menuju pelabuhan dengan ojek motor. Perjalanan pun tak lama, sekitar 15 menit saja. Sesampainya di pelabuhan, kita akan berjumpa dengan banyak calon penumpang lainnya yang sudah siap sedia untuk menyeberang pulau lengkap dengan barang belanjaan mereka dari kota.
Nah, sebetulnya bisa juga jika ingin menyewa kapal sendiri agar lebih mudah akses ke Pulau Moyo, yakni tanpa antrian dan dengan kapal yang lebih bagus. Namun, karena saya hanya wisatawan ransel, saya memilih untuk menumpang kapal rakyat yang lebih ekonomis.
Sementara itu, jika menggunakan kapal rakyat yang tanpa sewa, jangan terkejut jika harus menjumpai barang bawaan yang sangat banyak jumlahnya meski kapalnya sesederhana kapal kayu yang sudah cukup tua.Â
Saat itu, saya bahkan sempat khawatir karena barang yang dimuat mencakup motor, kawat-kawat bangunan panjang dan banyak bahan-bahan bangunan lainnya, barang belanjaan dari pasar yang jumlahnya berkarung-karung, dan juga pastinya penumpang lainnya.
Sempat khawatir melihat penampakan kapal dan barang bawaan yang diangkut, saya sempat bertanya pada salah satu penumpang, "Itu nggak apa-apa kapalnya?". Dan si penumpang ini pun menjawab dengan santainya, "Nggak apa-apa, kok".
Namun, hal itu tetap tidak membuat saya lega. Jadilah, sepanjang perjalanan saya hanya bisa berdoa meski juga tetap sambil menikmati pemandangan laut yang mempesona.Â
Satu hal yang membuat hati saya lebih tenang selama perjalanan, yakni salah satu penumpang kapal, yang notabene masih bayi, terlelap tidur dengan pulasnya. Melihat sang bayi yang tenang itu, hati saya pun tak jadi deg-deg-an jika mengingat kondisi kapal yang seperti sudah kelebihan muatan.
Setibanya di Pulau Moyo, saya bergegas menuju penginapan yang telah saya pesan secara online sebelumnya. Meski pulaunya kecil, jangan khawatir, karena sudah banyak penginapan lokal di pulau ini yang bisa dimanfaatkan untuk para wisatawan.
Lagi-lagi rejeki, saya tak menjumpai pengunjung lain di pulau ini. Alhasil, senja Pulau Moyo pun saya nikmati seorang diri tanpa harus berbagi dengan wisawatan lainnya.
Air Terjun Mata Jitu
Satu obyek wisata yang sangat terkenal di Pulau Moyo yang tak boleh terlewatkan adalah Air Terjun Mata Jitu. Air terjun ini cukup terkenal dengan ceritanya yang, konon katanya, pernah menjadi tempat persembunyian Lady Diana dahulu kala.
Menuju ke sana bisa ditempuh dengan dua cara. Pertama, berjalan kaki dengan jalurnya yang berbatu dan juga naik-turun khas pegunungan. Berjalan kaki mungkin bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 1 jam hingga 1.5 jam.
Kedua, mengendarai ojek motor dengan jarak tempuh yang lebih singkat, yakni 15-20 menit saja. Tetapi, jika mengendarai motor, tantangannya ada pada jalurnya yang terjal dan berbatu, membuat tidak nyaman untuk duduk di bangku penumpang.
Lalu, apa keistimewaan dari air terjun ini?
Air terjun ini mempunyai pantulan warna hijau tosca yang sangat indah dan menawan. Selain itu, alirannya juga bertingkat hingga memanjang dan juga tak dalam. Sumber airnya yang bersih juga tak mengkhawatirkan jika kita ingin berenang dengan santainya di air terjun ini.
Meski menurut saya warna dari air terjun ini sudah cukup hijau, ternyata, kata penduduk sekitar, warnanya bisa lebih hijau lagi di musim kemarau.
Dan, keberuntungan saya ternyata masih berlanjut juga, dikarenakan saat tiba di air terjun ini, masih juga tak ada satu pun pengunjung selain saya. Wah, lagi-lagi dapat bonus wisata pribadi premium tanpa harus berbagi dengan wisatawan lainnya!
Kembali ke Sumbawa Besar
Keesokan harinya, saat memutuskan untuk kembali ke Sumbawa Besar untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Sumba, saya tak menemukan kapal ekonomi. Setelah bertanya pada penduduk sekitar, ternyata semua kapal ekonomi di sana sedang disewa penduduk untuk bertandang ke hajatan di desa sebelah.Â
Di saat sudah mulai kebingungan dengan akses balik saya ke Sumbawa Besar, pihak penginapan ternyata dapat membantu saya dengan menumpang kapal lainnya tapi dengan harga yang lebih mahal daripada kapal ekonomi.
Jika dengan kapal ekonomi saya membayar seharga Rp 50.000 (harga wisatawan lokal), dengan kapal lain ini saya harus membayar dengan harga Rp 150.000. Harga ini tentu masih terhitung murah dibandingkan menyewa kapal secara pribadi yang bisa mencapai harga 1,5 juta kata si Bapak pemilik kapal.
Nah, karena kapal ini terhitung lebih eksklusif, kapalnya pun terlihat lebih baik dan lebih kokoh daripada kapal yang saya tumpangi sebelumnya. Kebetulan, si pemilik kapal ini juga harus menyeberang ke Sumbawa Besar, sehingga beliau tidak keberatan jika saya turut menumpangi kapal beliau.
Karena saya terhitung pengunjung "jauh" di kapal itu, saya pun banyak bercengkerama dengan Bapak pemilik kapal yang menjelaskan banyak hal kepada saya, termasuk keberadaan lumba-lumba di salah satu teluk di Pulau Moyo.
Sayangnya, saya tak beruntung saat itu, karena tak satu pun lumba-lumba menampakkan diri saat kapal melewati perairan teluk yang dikenal dengan Teluk Lumba-Lumba itu.
"Ini pertanda Mbak harus kembali ke sini lagi nanti, supaya bisa bertemu dengan lumba-lumba", kata Bapak pemilik kapal yang tentu saja saya aminkan dengan khidmat. Karena, siapa yang tidak ingin kembali ke pulau yang tenang dengan pemandangannya yang indah serta warganya yang ramah, bukan?
Sisa hari di Sumbawa Besar saat itu saya habiskan dengan berkeliling kota mencicipi kuliner khas Sumbawa Besar, seperti susu kerbau! Dan juga, menyempatkan diri berkunjung sejenak ke tempat wisata dalam kota yang juga cukup terkemuka yakni, Istana Dalam Loka.
Istana ini terkenal dengan cerita tatanan kayu berjumlah 99 seperti halnya Asmaul Husna. Menarik, ya?
Nah, siapa sangka ternyata nusantara mempunyai surga tersembunyi seperti ini. Tak kalah dengan destinasi wisata di luar negeri. Jadi, tak perlu jauh-jauh hingga ke negeri seberang meski hanya untuk melihat air terjun berwarna hijau tosca. Cukup menyeberangi pulau di negeri yang sama saja, sudah bisa kita jumpai pesona alam yang memanjakan mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H