Banyuwangi, daerah paling timur di Provinsi Jawa Timur ini memang penuh dengan pesona wisata yang menarik.
Selain terkenal dengan pantainya yang mempesona, seperti Pantai Pulau Merah, Banyuwangi juga terkenal akan kulinernya yang unik. Misalnya saja, rujak soto, perpaduan kuliner unik antara rujak dan soto yang bercampur menjadi satu dalam piring yang sama.
Beberapa tahun belakangan, Banyuwangi bahkan terkenal karena salah satu cerita horor, yang konon katanya terjadi di salah satu kabupatennya.
Namun, ada juga satu objek wisata yang sangat mendunia karena kemunculan si api biru (blue fire) di setiap fajarnya, ialah Kawah Ijen. Sebuah kawah panas aktif yang merupakan bagian dari deretan gunung berapi aktif, Gunung Ijen.
Namanya saja kawah, sudah pasti sangat berbahaya jika berada terlalu dekat. Apalagi kawah ini masih merupakan kawah yang aktif, sehingga tak heran jika kawah ini mengeluarkan asap panas dari aktivitasnya.Â
Jalur di sekitar kawah pun cukup curam, sehingga pengunjung wajib berhati-hati saat berada di pinggiran kawah agar tak tergelincir dan terjatuh.
Akses Menuju Kawah Ijen
Jalur menuju Kawah Ijen terbilang cukup sulit, apalagi bagi para backpacker.
Meskipun menuju Banyuwangi bisa ditempuh dengan berbagai moda transportasi seperti bus, kereta api, dan juga pesawat terbang, tapi akses menuju Kawah Ijen belum dapat dilalui dengan kendaraan umum. Jadi, mau tak mau para pengunjung harus menggunakan jasa sewa mobil atau membawa kendaraan pribadi.
Saya pribadi berangkat dari Surabaya ke Banyuwangi dengan kereta api. Stasiun pemberhentian paling ideal di Banyuwangi adalah Stasiun Karangasem.
Stasiun Karangasem tidak begitu besar, bahkan cenderung merupakan stasiun yang kecil. Tapi, di stasiun ini kita akan dengan mudahnya menemukan penginapan sekaligus penyewaan jasa pemandu wisata dan mobil untuk ke Kawah Ijen, tepat di depan stasiun. Jadi, tak perlu khawatir untuk berjalan jauh dari stasiun hanya untuk mencari jasa penyedia paket wisata ke Kawah Ijen.
Jasa penginapan? Memangnya perlu untuk menginap jika ingin ke Kawah Ijen?
Sebenarnya tidak perlu, bisa hanya 1 hari 1 malam. Tapi, yang menjadi masalah adalah pos untuk mendaki ke Kawah Ijen baru dibuka sekitar pukul 01.00 dini hari. Jika kita tiba di stasiun pada siang atau sore hari, sudah pasti kita akan butuh waktu istirahat meski sebentar dan mempersiapkan diri untuk pendakian di malam harinya.
Pasalnya, kita tak akan bisa tidur dan istirahat di malam hari karena aktivitas mendaki. Maka dari itu, penting sekali untuk meluangkan waktu beristirahat di sore harinya hingga sebelum berangkat ke Pos Paltuding, nama pintu pos pendakian menuju Kawah Ijen.
Sambil menunggu tengah malam, bisa juga dimanfaatkan dengan berkunjung sejenak ke Pantai Boom, pantai terdekat dari Karangasem. Meski pantainya sederhana, tapi lumayan juga untuk menghabiskan waktu di sore hari yang singkat itu.
Nah, biasanya, jasa sewa mobil dan pemandu wisata serta penginapan di depan Stasiun Karangasem juga menawarkan jasa berjalan-jalan di sekitaran kota di sore hari sebelum berangkat mendaki.Â
Bonus inilah yang bisa kita manfaatkan untuk berkunjung ke pantai terdekat hingga mencicipi kuliner Banyuwangi seperti Sego Tempong Mbok Wah yang terkenal itu!
Kuliner khas Banyuwangi ini spesial karena sambalnya yang segar dengan pedasnya yang menggelegar. Juga dengan kelengkapan lauk-pauknya yang bervariasi, menambah cita rasa kuliner khas Indonesia meski hanya dengan sayur rebusan yang sederhana. Kuliner yang cocok dinikmati untuk mengisi tenaga sebelum berangkat mendaki.
Persiapan pendakian
Meski pintu Pos Paltuding belum dibuka, kita tetap bisa menunggu dengan nyaman di area depan pos. Di situ terdapat banyak warung-warung yang berjualan teh, kopi, serta mie instan bagi para pendaki yang ingin menghangatkan tubuh dengan cuaca yang sudah cukup dingin.
Pukul 01.00 dini hari, pintu pos pun dibuka dan kita bisa memasuki area kawasan pendakian, tentunya setelah membayarkan tiket masuk, ya!
Awalnya, saya pikir mendaki Kawah Ijen tak seberapa. 2-3 jam saja kata bapak pemandu wisata, tergantung kecepatan kaki kita ketika berjalan dan mendaki.
Ternyata, suhu di area Kawah Ijen ini sangat dingin, bahkan menurut saya lebih dingin daripada di Gunung Bromo. Pendakian menjadi cukup menantang karena sudut elevasi dari jalur pendakian bahkan ada yang menyerupai sudut 45 derajat. Membawa tongkat atau sebatang kayu untuk membantu kita saat berjalan di jalan tanjakan sangatlah membantu.
Selain itu, area pendakian sangat gelap. Jadi, pastikan kita membawa alat penerangan yang praktis untuk membantu kita melihat jalan saat sedang mendaki.
Yang juga harus diwaspadai adalah selalu berhati-hati saat melangkah. Pasalnya, saat malam hari memang tak terlihat kanan kiri dari jalur pendakian sehingga kita akan selalu mengira bahwa jalurnya lebar.
Tapi ternyata, saat pagi hari, terlihat dengan jelas di kanan dan kiri dari jalur pendakian ini kebanyakan didominasi oleh tebing-tebing yang curam. Oleh karena itu, membawa alat penerangan sangat membantu kita saat mendaki di malam hari.
Ada satu titik yang cukup terkenal di jalur pendakian Kawah Ijen, ialah Pondok Bunder. Titik ini merupakan salah satu tempat beristirahat sebelum melanjutkan perjalanan ke Kawah Ijen.
Tak heran jika titik ini selalu ramai dengan para pendaki lainnya untuk beristirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan ke area puncak kawah.
Menyaksikan Api Biru Kawah Ijen
Mengapa mendaki Kawah Ijen lebih baik dilakukan saat tengah malam atau dini hari? Karena kemunculan api biru di Kawah Ijen hanya ada sesaat sebelum fajar dan berlangsung tidaklah lama.
Meskipun demikian, tidak ada yang menjamin jika fenomena ini akan selalu bisa kita saksikan setiap saat. Pasalnya, fenomena ini merupakan fenomena alam yang tak selalu muncul, tergantung bagaimana alam mendukung kemunculannya. Jadi, tak heran jika beberapa wisatawan tak dapat menyaksikan indahnya api biru ini meski telah mendaki sejak dini hari.
Pukul 03.00 dini hari saya dan dua teman mendaki serta bapak pemandu wisata akhirnya tiba di area puncak. Kami pun menunggu kemunculan api biru bersama dengan para pengunjung lainnya sambil menggigil kedinginan. Di area puncak hawanya benar-benar dingin! Jangan lupa kenakan jaket yang benar-benar bisa menghangatkan tubuh dengan baik saat ke Kawah Ijen.
Kami menunggu sambil berharap-harap cemas, akankan si api biru ini muncul di hari itu. Bapak pemandu wisata bahkan telah mengingatkan kami untuk tidak terlalu berharap dan kecewa, karena hal tersebut adalah murni fenomena alam. Jika mendung sedikit saja, katanya api biru tak akan terlihat.Â
Ternyata, sekitar pukul 04.00 pagi, kilauan api biru perlahan mulai terlihat. Beruntung sekali rasanya hari itu, bisa menyaksikan fenomena alam api biru di Kawah Ijen.
Oh iya, karena ini area kawah, sudah pasti ada aroma belerang yang tercium dan asap yang mengepul aktif di area kawah. Oleh karena itu, kita perlu mengenakan masker khusus untuk menghalau aroma dan asap tersebut saat menuruni kawah dan melihat si api biru dengan lebih dekat.Â
Jika tidak memiliki masker khusus tersebut, jangan khawatir. Biasanya si pemberi jasa wisata sudah menyiapkannya dan menawarkannya kepada kita sebelum berangkat menuju Pos Paltuding.
Menghabiskan Waktu di Area Kawah Ijen
Jika sudah puas menikmati indahnya api biru Kawah Ijen, kita bisa meneruskan perjalanan menuju sunrise point yang letaknya lumayan jauh juga dari area api biru.
Dan karena hari masih gelap, kita tetap harus selalu berhati-hati ketika berjalan di jalur yang cukup panjang ini.
Areanya tak lain berbentuk seperti hutan, tapi dengan jalur berjalan kaki yang sangat jelas dan mencapai sunrise point ini tidaklah sulit. Hanya saja, lampu penerangan tetap saja dibutuhkan agar memudahkan kita jika harus berhadapan dengan rumput-rumput liar yang tinggi yang menghalangi perjalanan kita.
Sunrise point ini terletak di area yang cukup tinggi. Sekali lagi, jaket yang menghangatkan sangatlah berguna dikarenakan angin yang bertiup di area ini saat fajar sangatlah kencang. Jika jaket yang kita kenakan tak cukup hangat, sudah pasti khawatir akan masuk angin!
Saat hari mulai terang, barulah kita bisa melihat dengan jelas seperti apa jalur penjelajahan yang sudah kita lalui di saat hari masih gelap. Jalur khas pegunungan yang ditumbuhi rerumputan liar dan dikelilingi dengan pegunungan yang sangat elok dipandang mata.
Saat hari sudah siang, kita bahkan bisa menyaksikan aktivitas warga setempat dengan mata pencahariannya sebagai penambang belerang. Seru juga loh bisa menyaksikan dan berinteraksi dengan mereka yang sehari-harinya naik turun gunung untuk mencari belerang ini.
Tak terbayang juga bagaimana lelahnya naik turun Kawah Ijen dengan memikul beban belerang yang sangat berat. Yang tidak membawa belerang saja sangat kelelahan, apalagi jika sambil memikul belerang.
Oh iya, saya jadi teringat. Karena jalur pendakiannya yang cukup curam di beberapa titik, dan juga karena nantinya tidak harus berlama-lama atau menginap di area kawah, sebaiknya tidak membawa banyak barang saat mendaki agar tidak memberi lebih banyak beban saat pendakian.
Dan menariknya lagi, terdapat banyak "ojek kawah ijen" di area ini. Jika tak kuat mendaki, bisa saja menaiki gerobak sederhana yang didorong oleh si pemilik gerobak. Tentu kita harus membayar sejumlah uang untuk bala bantuan ini. Â Dan selain untuk mendaki, alternatif ini juga tersedia untuk menuruni area kawah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H