Wah wah, sudah lama ya tidak main ke pantai lagi. Wahai pandemi cepatlah berakhir. Jiwa petualang ini sudah mulai meronta-ronta.
Kepenatan akan rutinitas kantor membuat saya dan tiga kolega lainnya memutuskan untuk menghabiskan akhir pekan bersama di pantai. Karena keterbatasan waktu, yakni hanya akhir pekan saja, kami memilih pantai yang mudah dijangkau saja dari Surabaya. Dan Kota Malang lah yang kami pilih.
Alasan yang sangat sederhana karena Kota Malang sebelah selatan sangat populer dengan berbagai pantai yang sangat indah. Sebut saja Pantai Goa Cina, Pantai Sendang Biru, Pantai Tiga Warna, Pantai Balekambang, hingga Pulau Sempu dan pantai-pantai lainnya.
Pantai Goa Cina menjadi pilihan kami, karena saat itu kami mencari referensi pantai yang boleh disinggahi dengan berkemah menggunakan tenda sendiri.
Saat itu, jalan tol Surabaya-Malang belum terbentuk seperti sekarang ini, sehingga perjalanan Surabaya-Malang ditempuh dalam waktu kira-kira dua jam lamanya. Tapi, berhubung tempat yang kami tuju adalah Malang Selatan, maka jarak yang kami tempuh pun lebih jauh daripada ke arah kota.Â
Berangkat dari Surabaya pukul 8 pagi, kami pun tiba di Pantai Goa Cina tepat di tengah hari.Â
Kebetulan kami berangkat dengan menggunakan mobil pribadi. Pasalnya, di kawasan Malang Selatan ini, akses untuk menuju pantai-pantainya masih sangat sulit untuk dijangkau dengan kendaraan umum.Â
Hampir tidak ada kendaraan umum yang menuju ke area pantai-pantai di Malang. Sehingga menggunakan mobil atau motor pribadi akan lebih memudahkan perjalanan.
Sesampainya di Pantai Goa Cina, kami pun bergegas mencari pelataran kosong untuk mendirikan tenda yang telah kami sewa sebelumnya.
Mungkin karena hari masih sangat siang, hanya kami saja yang mendirikan tenda. Tidak terlihat pengunjung lain yang mendirikan tenda. Bahkan, Pantai Goa Cina siang itu tergolong sepi untuk hari Sabtu.
Letak tenda kami tepat di depan pelataran pantai dengan ombaknya yang menderu-deru kencang dan pasirnya yang putih. Cuaca panas tak lagi terasa karna pepohonan kerap meniupkan semilir anginnya yang menyejukkan jiwa.
Ombak di pantai semakin berderu-deram, datang dan pergi sesuka hati, menghempaskan setiap butiran pasir yang tertabrak deburannya.
Tidak sabar untuk bercengkerama dengan butiran pasir dan deburan ombak, kami pun langsung saja mengakrabkan diri dengan mereka. Tak lagi pedulikan pakaian yang mulai basah, tertabrak deburan ombak pun justru membuat tertawa.
Oh ya, tak usah khawatir dengan sarana toilet untuk membersihkan diri sehabis bermain air di pantai ini. Toilet umum yang disediakan jumlahnya banyak dan juga cukup bersih. Jadi tak usah khawatir untuk menginap di sana karena khawatir tidak ada akses toilet yang memadai.
Selesai bermain-main dengan ombak di siang hingga sore hari, tibalah saat yang dinanti-nanti, matahari terbenam di pantai!
Pantai Goa Cina ini areanya sangat luas ya, terbuka di sebelah timur maupun barat. Tepi barat dari pantai ini mempunyai area yang jauh lebih luas, sehingga lebih melegakan jika ingin bermain-main dengan pasir dan ombaknya.
Eits, jangan lupa selalu berhati-hati saat bermain-main dengan ombak di pantai. Apalagi jika ombaknya sangat deras. Kita harus selalu waspada agar tak terseret ombak.
Saat senja mulai turun mendekat, kami pun bergegas meninggalkan tenda dan menjelajahi setiap butiran pasir di sisi barat pantai ini. Meski senja mulai turun, tapi tak satupun ada tanda-tanda pengunjung yang mendekat selain kami. Sepertinya saat itu kami sangat beruntung, karena berhasil memonopoli keindahan senja di Pantai Goa Cina.
Perlahan, matahari mulai semakin membenamkan diri, membuat langitnya tak lagi pucat biru dan putih. Perlahan, langit senja itu berubah menjadi sekumpulan warna yang memanjakan mata.
Kuning, jingga, dan nila. Semua bercampur dengan indahnya. Tak sedikit pun terdapat cela dalam setiap goresan warnanya.
Sore itu, kami berlama-lama berdiam di sana, memandangi keagungan Sang Kuasa dalam lukisan alam yang dibuatNya. Sambil sedikit, ehm, bergalau ria pastinya.
Malam pun menghampiri. Perut juga mulai lapar. Anehnya, malam tak juga dingin, meski angin tetap bertiup dengan semilir dan suara ombak kerap terdengar berdesir-desir.
Melihat warung di dekat pantai yang terbuka, kami pun memutuskan untuk membeli mie seduh di warung tersebut. Warungnya sepi, mungkin juga karena hari itu tak ada pengunjung yang datang.
Kami pun masih juga terheran-heran, mengapa hanya kami saja yang berkemah di sana. Tak ada pengunjung lain yang juga berkemah. Kami sempat khawatir jika kami melakukan kemah ilegal atau kami berkemah di tempat yang tidak seharusnya.
Tak lama setelah itu, kami melihat beberapa orang datang dan mendirikan tenda-tenda mereka di lokasi yang agak jauh dari kami. Lokasi tenda-tenda mereka lebih dekat dengan lokasi warung-warung yang berjejer.
Kami pun mengonfirmasikan hal tersebut kepada salah satu pemilik warung yang kami temui, menanyakan perihal lokasi tenda kami yang cenderung lebih dekat dengan bibir pantai.
Ternyata, tak ada masalah. Hanya saja, lokasi yang kami pilih memang cenderung lebih sepi dibandingkan lokasi yang umumnya dipakai untuk berkemah oleh para pengunjung. Alhasil, kami menjadi satu-satunya penghuni pelataran tersebut dengan tenda yang mentereng.
Hari sudah semakin larut. Tapi, ternyata hawa di dalam tenda panas dan pengap. Padahal tendanya cukup besar untuk dihuni oleh empat orang. Meski sudah berusaha tidur karena sudah larut, tetap tak bisa tidur karena suhu tenda yang membuat pengap.
Akhirnya, berbekal dengan matras tidur dan sleeping bag yang kami bawa, saya dan seorang teman memutuskan untuk tidur di luar tenda saja, sambil memandangi langit berbintang yang sungguh cantik.Â
Meski di luar tenda dan di pinggiran pantai, cuaca tak juga dingin, padahal hari sudah hampir tengah malam. Tapi, alih-alih bisa tidur, kami malah semakin ramai bercengkerama dengan berpayungkan langit berbintang hingga perut kembali lapar.
Salah satu teman kami pun, satu-satunya laki-laki yang ikut berkemah saat itu tak sengaja sedang berbincang dengan salah satu pemilik warung ikan bakar yang sebenarnya sudah tutup. Tapi, berhubung kami benar-benar kelaparan, si Bapak yang baik hati pun menawari kami ikan nila bakar lengkap dengan nasi nya yang beliau gratiskan.
Waah, kebetulan sekali. Makan ikan bakar di tepi pantai, yum!
Setelahnya, kami pun kembali bercengkerama hingga benar-benar mengantuk. Saya dan seorang teman tetap memutuskan untuk tidur di depan tenda. Sementara satu teman yang lain tidur di dalam tenda. Dan, satu teman lainnya (si teman laki-laki) tak bisa tidur semalaman karena terlalu khawatir dengan teman-teman perempuannya yang tidur di luar tenda.
Tidur pun terasa nyenyak dengan angin semilir dari bibir pantai. Hingga akhirnya, matahari pun terbit dan mengagetkan kami yang sedang tidur di luar tenda.
Beberapa ibu-ibu yang lewat ternyata terkejut dengan keberadaan kami hingga meneriakkan kata "Astaghfirullah!". Kami yang masih mengantuk hanya bisa mengabaikan saja teriakan ibu-ibu tersebut. Meski tak lama setelahnya, suasana semakin ramai dengan suara-suara berisik di depan kami.
Mau tak mau, kami pun bangun dari tidur dan akhirnya menyaksikan keberadaan para pengunjung yang mulai berdatangan menikmati suasana matahari terbit di Pantai Goa Cina.
Pagi itu, kami dihadiahi oleh pemandangan matahari terbit yang sangat indah, tepat di hadapan kami saat terbangun dari tidur. What a perfect morning!
Tak lama setelah itu, bis-bis pariwisata mulai berdatangan dan pengunjung mulai sangat ramai di area pantai. Pantai pun tak lagi sepi seperti kemarin. Sudah tak lagi ada area pribadi untuk berswafoto dengan leluasa.
Pengunjung sudah mulai berbondong-bondong mendatangi area bibir pantai dan mengeluarkan tongkat swafoto mereka, tiada henti mengambil foto setiap detiknya.
Sepertinya, hari Minggu adalah hari yang populer bagi para pengunjung untuk mendatangi Pantai Goa Cina. Jadi, ada benarnya juga kami berkunjung ke sana pada hari Sabtu.
Karena masih tak rela untuk meninggalkan area pantai meski pengunjung semakin ramai. Kami pun mencari sudut yang sepi, tepatnya di dekat bebatuan besar di area pantai, sebagai tempat untuk kami bisa tidur siang sejenak!
Di pinggiran ini sangat sepi. Karena kebanyakan pengunjung akan berdiam tepat di tengah-tengah area pantai yang sangat dekat dengan deburan ombak untuk berswafoto.
Untunglah, meski siang itu ramai, kami tetap bisa tidur siang dengan nyenyak dan menghabiskan sisa hari di Pantai Goa Cina hingga tengah hari.
Hari itu memang akhir pekan yang singkat di Pantai Goa Cina. Tapi ingatannya melekat dan tetap saja memikat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H