Mohon tunggu...
Novi Setyowati
Novi Setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

3 Alasan untuk Resign dan 3 Hal yang Harus Dipertimbangkan Sebelum Resign

10 Maret 2021   11:12 Diperbarui: 10 Maret 2021   15:47 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi resign (Sumber gambar: Getty Images)

Berbagai macam tekanan yang kita rasakan di tempat kerja tak jarang membuat kita merasa ingin menyerah dan berhenti saja. Bahkan terkadang, meski diiming-imingi dengan gaji yang fantastis, kita masih saja ingin menyerah.

Kok bisa? Alasannya, karena tidak merasa bahagia.

Sepertinya dewasa ini memang lebih banyak yang menyadari pentingnya kesehatan mental. Sehingga perasaan bahagia lebih diutamakan daripada hal-hal lain yang membuat kita tertekan dan stress.

1. Budaya kerja yang tidak sesuai

Perasaan tidak bahagia di tempat kerja pun disebabkan oleh berbagai macam hal. Misalnya saja, kesibukan yang tak kunjung reda sehingga sulit untuk mencapai worklife balance.

Saya termasuk yang cukup terganggu dengan email-email pekerjaan yang selalu berdatangan di atas jam 10 malam. Pun juga saya cukup terganggu jika setiap bangun tidur di pagi hari, saya harus langsung membuka laptop dan bekerja karena sudah hampir tutup deadline. 

Baru-baru ini juga salah satu teman saya bercerita keinginannya untuk resign setelah baru dua bulan menempati kantor baru. Alasannya, kesibukan di tempat kerja yang tak kenal waktu.

Tapi, tidak semua terganggu dengan budaya kerja yang sangat sibuk. Saudara H.I.M, misalnya. Dengan kesibukannya di salah satu perusahaan swasta, beliau harus selalu siap sedia dengan telepon seluler di tangan. Bahkan saat berlibur ke Belitung dengan teman-temannya, beliau rela untuk mengorbankan waktu liburannya hanya untuk menjawab panggilan telepon berkali-kali.

Apakah saudara H.I.M mengeluh? Saat itu sih tidak. Beliau hanya menjelaskan bahwa memang begitulah pekerjaannya.

Sementara kami sebagai teman dekat sejak semasa mahasiswa baru 12 tahun yang lalu, hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat dedikasinya pada perusahaan.

Apakah budaya kerja ini membuatnya lantas ingin resign? Sepertinya sih belum.

Tapi, budaya kerja sepertinya menjadi salah satu alasan utama saat seseorang tak lagi dapat menikmati pekerjaannya. Atau karena pekerjaannya sudah sangat mengganggu waktu-waktu kehidupan pribadinya.

Ilustrasi resign (Sumber gambar: via bisnis.com)
Ilustrasi resign (Sumber gambar: via bisnis.com)

2. Kurang cocok dengan kolega dan atasan di tempat kerja

Hal lainnya bisa jadi atasan atau kolega yang tidak membuat kita nyaman untuk bekerja. Saya pun pernah berada di posisi ini, mengundurkan diri karena alasan tidak nyaman dengan kolega dan atasan tempat saya bekerja. 

Pasalnya, saat kita tidak nyaman dengan kolega dan atasan tempat bekerja, kita pun (paling tidak saya) merasa tidak dapat bekerja secara maksimal. Yang ada justru perasaan tidak tenang setiap harinya dan setiap berangkat kerja selalu dipenuhi dengan beban.

Kurangnya dukungan dari tempat kerja membuat motivasi kerja menurun dan bahkan bekerja seadanya saja. Asal selesai, asal memenuhi deadline. Tapi kualitasnya? Masih harus dipertanyakan. Hal ini juga lantaran bekerja selalu setengah hati karena pikiran selalu fokus dengan "ingin resign saja".

3. Gaji yang tak sebanding dengan beban pekerjaan

Ada juga yang tidak dapat menikmati pekerjaannya karena alasan gaji yang terlalu sedikit, sementara beban kerja tak lagi bisa dibendung. 

Jika sudah demikian, akan muncul perasaan-perasaan tidak adanya apresiasi kerja hingga eksploitasi tenaga kerja secara tidak adil.

Tak jarang yang mengalami hal ini akan lebih memilih untuk meninggalkan pekerjaannya dengan harapan akan mendapat kesempatan yang lebih baik lagi secara finansial.

Ilustrasi galau dengan pekerjaan (Sumber gambar: Pixabay/geralt)
Ilustrasi galau dengan pekerjaan (Sumber gambar: Pixabay/geralt)

Namun, dibalik alasan-alasan untuk resign tersebut, tetap saja tidak mudah untuk langsung mengajukan pengunduran diri. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum kita benar-benar meninggalkan suatu perkejaan.

Terlebih di masa pandemi seperti sekarang ini, di saat perekonomian sedang menurun tetapi kebutuhan hidup tetap harus dipenuhi dan membutuhkan dana yang seringkali tak sedikit.

Apa saja kira-kira pertimbangan tersebut?

1. Finansial

Alasan mutlak mengapa kita masih ragu-ragu untuk meninggalkan pekerjaan yang kita geluti. Ialah keuangan.

Tentu hal ini tak lagi bisa dipungkiri bahwa kita membutuhkan uang untuk bertahan hidup. Apalagi di zaman yang semakin modern seperti sekarang ini, apa-apa selalu membutuhkan uang.

Bukan bermaksud mata duitan. Tapi bersikap realistis.

Ilustrasi finansial (Sumber gambar: Pixabay/stevepb)
Ilustrasi finansial (Sumber gambar: Pixabay/stevepb)

Apalagi bagi yang sudah berkeluarga, tentu bukan hal yang mudah untuk mengundurkan diri dari pekerjaan. Banyak hal yang harus dipikirkan mulai dari kebutuhan dapur, kebutuhan sandang papan, hingga biaya pendidikan bagi anak.

Bagi yang belum berkeluarga, juga bukan hal yang mudah untuk kehilangan pekerjaan. Tetap saja ada kebutuhan yang harus dipenuhi setiap harinya. Apalagi jika belum berkeluarga di usia yang tak lagi muda.

Semakin bertambah usia, kebutuhan hidup pun semakin bertambah. Jika sudah tinggal terpisah dari keluarga, tetap saja harus bertanggung jawab sendiri terhadap kebutuhan kehidupannya. Sesederhana hanya untuk membayar sewa kamar kos setiap bulannya, misalnya.

Pun jika termasuk dalam kelompok sandwich generation, meski belum berkeluarga, tetap saja ada anggota keluarga yang harus didukung secara finansial.

Jika sudah begini, harus benar-benar berpikir beribu-ribu kali untuk kehilangan pekerjaan.

2. Belum ada pekerjaan pengganti

Ilustrasi bekerja (Sumber gambar: Pixabay/StartupStockPhotos)
Ilustrasi bekerja (Sumber gambar: Pixabay/StartupStockPhotos)

Biasa disibukkan dengan rutinitas bekerja, lalu tak lagi bekerja adalah sebuah kebiasaan baru yang cukup sulit, baik untuk diri sendiri maupun badan kita.

Tubuh yang biasa bergerak dan pikiran yang biasa dikerahkan untuk urusan pekerjaan, terkadang menjadi mudah lelah dan lesu karena tidak lagi ada yang dikerjakan. Motivasi pun menjadi berkurang karena kondisi fisik yang tidak lagi semangat.

Belum lagi, tidak adanya pemasukan bulanan seperti saat bekerja, membuat selalu berpikir berulang kali saat akan mengeluarkan uang dari dompet kita. Kekhawatiran akan cukup tidaknya finansial setelah pengunduran diri, tentu juga akan membuat pikiran stress. 

Jangan lupa, budaya kita adalah budaya kolektif. Mengundurkan diri dari pekerjaan bisa mendatangkan tekanan dari luar diri kita tentang adanya pertanyaan "kok tidak kerja lagi?" atau "kenapa berhenti bekerja?".

Meski kita sadar betul bahwa kitalah yang memahami efek buruk dari pekerjaan yang tidak menyenangkan. Tapi sayangnya, tidak begitu dengan lingkungan di sekitar kita.

Jika kita siap dengan segala konsekuensi ini sih, tidak masalah, lakukan saja.

Tapi jika tidak, alternatifnya adalah menunggu hingga memperoleh pekerjaan baru sebagai alasan untuk berpindah pekerjaan.

3. Dihadapi selagi masih bisa agar tak terulang di masa depan

Pernah mendengar tentang sekolah kehidupan? Sama halnya dengan sekolah pada umumya, ada beberapa tahapan ujian yang harus dilalui agar bisa lulus dan melangkah ke tahap berikutnya.

Jika tidak lulus ujian, harus tinggal kelas, mengulang ujian, dan menunggu hingga satu tahun lamanya.

Saya menganalogikan ketidaknyamanan di tempat kerja juga salah satunya demikian. Ialah ujian kehidupan. Jika tidak lulus, bisa-bisa terulang kembali sampai kita bisa lulus dengan ujian tersebut.

Misalnya saja, jika alasan kita mengundurkan diri dari perusahaan adalah karena kolega atau atasan kerja yang kurang menyenangkan.

Di satu sisi, kita bisa saja mencoba untuk meninggalkan perusahaan karena sesederhana ketidakcocokan dengan rekan kerja dan atasan. Tapi apakah kita bisa menjamin bahwa di tempat kerja yang baru nantinya kita tidak akan bertemu dengan orang-orang dengan karakter yang sama?

Sementara di sisi lain, kita bisa menganggap hal ini sebagi sebuah bentuk ujian kehidupan, yang dalam menghadapinya pun harus sampai lulus agar nantinya kejadian serupa tak lagi bisa terulang.

Atau, kalaupun harus berulang, kita sudah tahu strategi seperti apa yang harus kita pakai untuk menghadapi karakter-karakter tersebut. 

Saya pun pernah mengalaminya. Pertama kali resign dari pekerjaan pertama saya saat itu karena tidak cocok dengan rekan kerja dan atasan. Setelah pindah tempat kerja, ternyata ada juga rekan kerja yang memiliki karakter yang sama.

Saya mulai berpikir, mungkin saat itu saya memang belum lulus ujian kehidupan. Maka dari itu hal tersebut berulang kembali dengan harapan kali ini saya akan lulus ujian!

Saya pun tak lagi memutuskan untuk mundur dan menyerah, tetapi memutuskan untuk bertahan dan mengembangkan diri dalam menghadapi ketidakcocokan yang demikian.

Pasalnya, saya menyadari bahwa menyerah pada keadaan dan menghindari permasalahan bukanlah jalan keluar yang terbaik. Bisa jadi, kita sedang diberikan waktu untuk lebih belajar lagi menghadapi berbagai kesulitan di hidup ini, termasuk kaitannya dengan hubungan antar manusia dalam bidang pekerjaan. 

Jadi, dalam hemat saya, selagi masih bisa dihadapi, dipelajari, dan diusahakan, meninggalkan pekerjaan sepertinya bukan hal yang tepat untuk dilakukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun