Mohon tunggu...
Novi Setyowati
Novi Setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

8 Hal Ini yang Bisa Bikin Culture Shock di Negeri Panzer

25 Februari 2021   22:06 Diperbarui: 1 Maret 2021   00:05 2337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sepinya pertokoan yang sudah tutup pada pukul 8 malam di Mittenwald (Dokpri)

Saat berpindah ke lingkungan baru, hal paling utama yang dibutuhkan adalah adaptasi.

Entah itu rumah baru, kota baru, negara baru, bahkan kantor baru pun selalu dibutuhkan penyesuaian diri yang juga baru. 

Sekadar menyesuaikan diri dengan hal-hal yang nampak asing hingga lama-kelamaan menjadi terbiasa dengannya.

Tentunya ketika di lingkungan baru, ada saja hal-hal yang membuat kaget dan terheran-heran karena berbeda dari yang biasa kita temui di lingkungan lama. Tak ayal hal ini pun terkadang membuat sulit untuk beradaptasi di lingkungan yang baru.

Tapi, seperti kata pepatah "di mana bumi berpijak, di situ langit dijunjung", sudah seharusnya kita pun berperilaku selayaknya bagaimana aturan-aturan yang berlaku di lingkungan tempat kita tinggal.

Meski kebiasaannya tak lagi sama dengan di lingkungan lama, kita tetap harus berusaha memahami dan mengikutinya karena inilah lingkungan tempat tinggal yang baru.

Apa itu culture shock?

Dilihat dari padanan katanya, secara gamblang bisa diartikan sebagai kaget budaya. Sederhananya, belum mengenal dan terbiasa dengan budaya baru sehingga membuat kita cukup kaget karena mulai harus membiasakan diri dengannya.

Seyogianya budaya baru ini sudah pasti ada yang membuat nyaman dan ada yang tidak. Yang tidak, mungkin saja hanya masalah waktu, karena belum kenal. Kalau kata pepatah, "tak kenal maka tak sayang". Sama halnya dengan budaya, karena tak kenal, jadinya tak nyaman.

Tapi, budaya juga bagian dari manusia. Budaya memberikan banyak pengaruh dalam perkembangan diri dan karakter seseorang. Hal ini karena budaya adalah bagian dari lingkungan hidupnya.

Maka, jikalau pun berbeda, kita tetap harus menghormatinya dan mengakui jika memang nilai-nilainya tak sama dengan budaya ada pada lingkungan kita. Bukan justru menghakimi perbedaan yang ada dan menganggap budaya yang satu lebih baik dari yang lainnya.

Menghormati dan mengakui perbedaannya justru akan memperkaya khasanah keberagaman budaya di dunia ini. Pengetahuan kita pun tentang budaya berbagai negara di dunia akan semakin kaya dengan memberikan pengakuan atas keberagaman ini.

Bagaimana mendapatkan pengalaman culture shock?

Saya pribadi seringkali mengalami culture shock karena merantau maupun karena berwisata.

Tidak perlu sampai jauh-jauh ke negeri orang untuk mengalami culture shock. Saat saya merantau ke Jakarta pun saya sudah merasakan culture shock. 

Lalu, saat lagi-lagi harus kembali merantau ke Surabaya dari Jakarta, lagi-lagi saya merasakan culture shock. Bahkan di negeri sendiri pun kita masih bisa merasakan budaya masyarakat yang berbeda dari kampung halaman kita.

Setelahnya, saat bekerja dengan orang asing atau berteman dengan berbagai kawan dari pelosok negeri, lagi-lagi saya merasakan culture shock dengan karakter mereka yang juga kental akan nilai-nilai di kampung halamannya. 

Ternyata, culture shock bukan hanya perkara berpindah tempat, tapi dari pribadi seseorang dari latar belakang yang berbeda pun bisa memberikan kita pengalaman culture shock.

Culture shock lebih saya rasakan saat merantau ke Negeri Panzer untuk studi. Kali ini lebih menantang karena bukan hampir dari semua aspek kehidupan dipengaruhi oleh budaya yang baru sehingga adaptasi pun menjadi lebih intens.

Ilustrasi culture shock (Sumber gambar: shutterstock/absentum81)
Ilustrasi culture shock (Sumber gambar: shutterstock/absentum81)

Apa saja kira-kira budaya di Negeri Panzer yang bisa membuat culture shock?

1. Jam buka tutup pertokoan dan pusat perbelanjaan
Kalau di Indonesia banyak pertokoan, kaki lima, dan minimarket yang bahkan buka hingga 24 jam, tidak demikian halnya dengan di Jerman.

Pertokoan dan tempat-tempat perbelanjaan buka dari pukul 7 pagi hingga pukul 8 malam saja. Kecuali di tempat-tempat tertentu seperti stasiun kereta, masih ada supermarket dan pertokoan yang buka hingga pukul 10 malam.

Selain itu, pertokoan dan pusat perbelanjaan juga tutup pada hari Minggu. Kecuali di tempat-tempat wisata, masih ada restoran yang buka di hari Minggu. Juga pada hari libur nasional, pertokoan dan pusat perbelanjaan tidak ada yang buka.

Jadi, jika sibuk dengan jadwal bekerja atau studi, tetap tidak boleh lupa belanja pada hari sebelum hari Minggu dan sebelum pukul 8 malam agar tetap bisa memenuhi kebutuhan bahan makanan di rumah.

Tanggal-tanggal libur nasional juga harus diperhatikan, jangan sampai berhadapan dengan long weekend dan lupa belum berbelanja di supermarket.

2. Nachtruhe (jam sepi di malam hari)
Dari kata "Nacht" yang berarti malam dan "ruhe" yang berarti "tenang", bisa ditebak jika jam-jam ini adalah jam-jam tenang di malam hari.

Yak! Pada hari-hari biasa di malam hari, terdapat jam tenang di lingkungan masyarakat Jerman, yakni setiap pukul 10 malam hingga pukul 6 pagi keesokan harinya.

Di rentang jam-jam tersebut, kita sebaiknya tidak membuat gaduh di lingkungan tempat kita tinggal. Suara gaduh ini bisa saja dipicu oleh suara musik yang terlalu kencang, suara-suara percakapan terlalu kencang, atau juga suara-suara membereskan panci di dapur.

Saat pertama kali tiba di Jerman, saya bahkan kerap khawatir jika langkah kaki saya atau suara saat saya menutup pintu dianggap membuat gaduh.

Bahkan ada pengalaman saat saya dan teman-teman berada di suatu acara perpisahan dengan musik dan makanan di tempat kursus, kami didatangi oleh polisi. 

Polisi-polisi ini datang karena ada keluhan dari salah satu tetangga dengan kegaduhan yang kami buat. Polisi-polsi itu pun datang untuk memperingatkan kami bahwa kami telah membuat gaduh di atas pukul 10 malam dan kami harus membubarkan acara tersebut.

Iya, jadi, saat membuat gaduh dan dianggap mengganggu oleh para tetangga, mereka bisa saja melapor pada polisi dan kita pun dapat peringatan dari polisi. 

Tapi, ada juga tetangga yang berbaik hati tidak melapor pada polisi, tetapi mendatangi langsung pusat kegaduhan dan meminta untuk tidak lagi membuat gaduh.

Saya bahkan pernah mendapat teguran dari teman tinggal saya yang memang orang Jerman, karena suara flush toilet pukul 5 pagi mengganggu tidurnya. Hmm, sungguh pengalaman culture shock yang menarik.

Tapi, jika sudah memasuki weekend seperti Jumat malam dan hari Sabtu, kegaduhan di malam hari rasanya masih lebih dapat ditoleransi. Berbeda halnya jika kegaduhan terjadi di hari-hari kerja.

Oh ya, kalau di asrama mahasiswa sih, Nachtruhe sepertinya jarang berlaku, kecuali di musim-musim ujian. Pasalnya hampir setiap minggu ada perayaan meski sekedar acara kumpul-kumpul bersama. Tapi, tak ayal kegaduhan pun terjadi hingga pukul 1 dini hari.

3. Sonntagruhe
Sama-sama mengandung kata "ruhe" tapi kali ini dengan kata "Sonntag" yakni hari Minggu.

Kecuali di tempat-tempat wisata, hari Minggu di Jerman cenderung lebih sepi atau bahkan sangat sepi. Orang-orang akan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah untuk beristirahat sehingga jalanan dan transportasi umum juga lebih sepi.

Jadi, tidak usah terkejut jika menemukan hari Minggu di jalanan Jerman seperti tidak berpenghuni.

Ruhe bitte! (Sumber gambar: pinterest.com/pin)
Ruhe bitte! (Sumber gambar: pinterest.com/pin)
4. Membuat janji dengan Dokter
Semua hal serba disiplin dan tersistematis. Mungkin kalimat ini yang cukup bisa menggambarkan poin keempat ini.

Kita tidak bisa serta-merta datang ke dokter pada hari itu juga dan memeriksakan keluhan kita. Tapi, etika dan aturannya adalah membuat janji terlebih dahulu dengan dokter yang kita tuju.

Nantinya jadwal pertemuan yang kita dapatkan pun akan sesuai dengan jadwal dan kapasitas mereka.

Pengalaman saya dengan dokter gigi, saya harus menunggu selama satu bulan untuk memperoleh jadwal penanganan dengan dokter gigi. Untung saja saat itu masalahnya bukan hal yang serius, sih. Jadi, masih bisa ditahan.

Tapi, kedua kalinya saya harus melakukan operasi gigi bungsu, saya harus menunggu satu bulan dan saya mencoba untuk bernegosiasi. 

Pada akhirnya, saya berhasil mendapatkan jadwal dua minggu lebih awal untuk operasi gigi bungsu.

Teman saya bahkan harus menunggu hingga dua bulan lamanya saat ingin membuat janji dengan dokter mata dan juga Ginekolog.

Tentu tidak semua kasus, ya. Jika keluhan kita termasuk hal yang darurat, kita bisa saja bernegosiasi dan meminta jadwal pertemuan lebih awal.

Jadi, tidak bisa seperti di Indonesia saat kita bisa kapan saja datang menemui dokter dan langsung memperoleh penanganan. 

Di Jerman, kita harus membuat janji terlebih dahulu dan rentang waktunya bisa bervariasi mulai dair berhari-hari, berminggu-minggu, hingga berbulan-bulan lamanya.

5. Transportasi umum terjadwal beserta halte-halte pemberhentian
Kalau ini, bisa juga disebut sebagai culture shock yang memicu kedisiplinan diri yang lebih baik lagi.

Jadwal-jadwal keberangkatan dan kedatangan transportasi umum sangat teratur. Terlambat menunggu bus sepuluh menit saja, kita bisa menunggu kedatangan bus berikutnya hingga sepuluh menit lamanya dan itu bisa berakibat terlambat menaiki metro atau subway hingga dua puluh menit lamanya.

Terbayang kan jika kita terlambat sampai halte pemberhentian, sudah pasti tergesa-gesa dan terlambat juga tiba di tujuan.

Tidak ada ojek online atau becak yang bisa kita panggil sewaktu-waktu untuk mengantar kita yang tertinggal bus atau angkot.

Halte-halte pemberhentian juga sudah tersedia. Karenanya, penting bagi kita mempertimbangkan berapa lama waktu yang kita butuhkan untuk menuju halte jika berjalan kaki atau bersepeda agar tidak ketinggalan bus atau tram.

Aplikasi transportasi umum juga selalu menyediakan jadwal keberangkatan dan kedatangan yang aktual, sehingga kita harus selalu disiplin agar tidak terlambat.

Beberapa kali saya bangun kesiangan dan alhasil saya harus lari-larian di pagi hari agar tidak tertinggal bus. Itu pun kadang masih tertinggal, padahal saya sudah di penyeberangan lampu merah saat bus datang. Hanya tinggal menyeberang saja.

Sayangnya transportasi umum di Jerman tidak akan menunggu penumpang, meskipun saya sudah berlari-lari dan sangat dekat dengan pintu bus, tinggal sejengkal lagi tapi pintu bus tertutup dan bus pun berjalan. Perasaan kesal tentu ada, tapi itu juga karena saya kesiangan.

Ini juga cukup membuat kaget, sih. Jadwal tranportasi umum tidaklah fleksibel. Tapi ini hal yang baik karena memacu sikap disiplin diri yang lebih baik lagi.

Sepinya pertokoan yang sudah tutup pada pukul 8 malam di Mittenwald (Dokpri)
Sepinya pertokoan yang sudah tutup pada pukul 8 malam di Mittenwald (Dokpri)
6. Biaya kuliah gratis dan Semesterticket untuk siswa
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain atau juga Indonesia, biaya kuliah di Jerman sangatlah murah. Sebenarnya tidak gratis juga, karena tetap harus membayar sejumlah uang untuk satu semester nya. Tetapi, jumlahnya sangatlah sedikit dan karena itu banyak yang menyebutnya gratis.

Kampus saya (Universitas Passau) hanya menyaratkan uang semester sebesar 84.50EUR atau sekitar 1,4 jutaan (mengikuti kurs saat ini). Dibandingkan di Indonesia, tentu jumlah ini lebih murah (mendengar cerita dari teman-teman dan sanak saudara).

Selain itu, uang semester ini pun sudah mencakup Semesterticket, atau tiket untuk transportasi umum di wilayah tempat kita tinggal. Sehingga untuk naik kendaraan umum, tidak lagi harus membeli tiket transportasi. Cukup hanya dengan menunjukkan kartu mahasiswa saja sebagai tiket kita.

7. Schwarzfahrer
Atau penumpang gelap di kendaraan umum. Pemeriksaan tiket di dalam transportasi umum di Jerman memang jarang dilakukan. Kalaupun dilakukan, si petugas biasanya pun tidak memakai seragam khusus, tetapi terkadang hanya memakai baju biasa layaknya seorang penumpang.

Tapi, jangan coba-coba untuk naik kendaraan umum tanpa tiket. Jika ada pemeriksaan tiket dan kita tidak mempunyai tiket, kita bisa terkena denda sebesar 60EUR karena terhitung sebagai Schwarzfahrer atau penumpang gelap.

8. Zum Verschenken
Jika melewati sebuah rumah atau bangunan dan melihat kotak berisikan beberapa barang-barang layak pakai dan kotak tersebut bertuliskan zum Verschenken, maka artinya barang-barang ini tak lagi diperlukan oleh pemiliknya dan bisa kita ambil kapan saja jika kita membutuhkannya.

Ya, semacam, menghibahkan barang-barang yang tidak lagi kita perlukan.

Saya bahkan mendapatkan seperangkat peralatan makan (piring, mangkok, dan gelas keramik yang masih sangat bagus) saat baru saja pindahan dan kebetulan memang belum mempunyai peralatan makan. Teman saya bahkan mendapatkan sebuah sofa gratis yang masih sangat bagus dari websiteyang juga menampilkan layananzum verschenken. Menarik, ya?

Nah, begitu kira-kira beberapa culture shock yang mungkin dialami saat di Negeri Panzer.

Semoga bermanfaat!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun