1. Kurangnya dukungan dari pemerintah dan produsen serta sulitnya mengedukasi masyarakat
Menuliskan dan mengatakannya memang tidak semudah melakukannya. Kalau ibu saya bilang, "percuma kita tidak pakai kantong plastik, tapi di luaran sana produk-produk masih dijual dengan menggunakan bungkus plastik. Suruh saja para produsen itu untuk tidak menggunakan plastik dalam kemasannya". Ya, masuk di akal juga sebenarnya jika mau berpikiran seperti ini.
Belum lagi, mengedukasi masyarakat itu tidaklah mudah, terutama pada pedagang-pedagang kecil dan pedagang-pedagang di pasaran yang masih sangat bergantung dengan kantong plastik.
Ini adalah PR kita bersama jika ingin permasalahan sampah ini teratasi. Bukan cuma pemerintah dan para produsen, tapi juga masyarakat negeri ini.Â
Bisa saja dimulai dengan pendidikan usia dini, memperkenalkan pendidikan tentang pemilahan sampah, bahaya pencemaran sampah, dan lain-lain di salah satu pelajaran di sekolah. Atau jika tidak memungkinkan masuk dalam kurikulum sekolah, bisa juga dibuat kegiatan ekstrakurikulernya. Ekstrakurikuler daur ulang sampah plastik, misalnya.
Atau seperti yang sudah umum, menyediakan tempat sampah organik dan anorganik di setiap pojok sekolah, seperti yang saat ini sudah banyak terlihat.
2. Sistem pembuangan sampah TPA itu sendiri
Tantangan berikutnya adalah, seandainya pun  kita sudah mulai memilah-milah sampah di rumah dengan baik sesuai sampah organik, anorganik, sampah basah dan sampah kering, apakah ini menjamin sampah-sampah tersebut akan dibuang terpisah oleh petugas yang bersangkutan di TPA nanti?
Jika di Jerman, petugas pengangkut sampah datang secara bergantian sesuai dengan sampah yang diangkutnya. Tapi, jika saya lihat di ligkungan tempat saya tinggal, bapak yang bertugas mengangkut sampah setiap hari dan ditumpuk dalam satu tempat gerobak yang dibawanya.
Bisa saja kita sudah disiplin memilah sampah di rumah, tapi saat di TPA tetap saja dikumpulkan dengan sampah-sampah lainnya. Nah, rumit juga, bukan?
Solusi yang bisa ditawarkan