Mohon tunggu...
Novi Setyowati
Novi Setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Foodie Pilihan

Vollkornbrot: Awalnya Tak Ada Rasa, Sekarang Jadi Rindu

12 Februari 2021   08:00 Diperbarui: 12 Februari 2021   15:49 951
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sourdough (Sumber gambar: shutterstock.com oleh And-One)

Vollkornbrot merupakan sebutan untuk roti khas Jerman yang umumnya terbuat dari tepung gandum utuh. Didalamnya juga terdapat banyak campuran biji-bijian kaya nutrisi seperti biji labu, biji wijen, ataupun biji bunga matahari.

Warna roti ini cenderung cokelat gelap dengan tekstur yang cukup keras. Tetapi, roti ini terbilang roti yang sangat sehat karena ragi yang digunakan juga umumnya ragi alami yang dikembangkan sendiri oleh si pembuat roti. Ragi ini umumnya disebut dengan sourdough starter.

Pembuatan raginya sendiri memakan waktu yang cukup lama. Karena istilahnya kita sedang menumbuhkan bakteri-bakteri di dalam campuran tepung dan air. Prosesnya bisa memakan waktu hingga 14 hari agar ragi benar-benar siap untuk digunakan.

Membuat sourdough starter pun tidak mudah. Karena pertumbuhan ragi juga ditentukan oleh tingkat kelembaban dan suhu lingkungan di mana ragi dikembangbiakkan.

Terkadang ada juga yang sudah susah payah mengembangkan ragi ini dari hari pertama hingga hari kelima, eh di hari kelima raginya gagal dan harus mengulang dari awal.

Saya pun mengalami kegagalan ini hingga tiga kali. Tetapi, dari kegagalan itulah saya mulai belajar mengenai proporsi tepung dan air, penempatan ragi dan lain-lain, hingga akhirnya berhasil.

Ilustrasi sourdough starter yang saya buat selama 14 hari (Dokpri)
Ilustrasi sourdough starter yang saya buat selama 14 hari (Dokpri)
Proses pembuatannya pun cenderung lama, bahkan ada yang memakan waktu hingga 24 jam agar sebelum adonan dipanggang dalam oven. Oleh karena prosesnya yang cukup lama namun cukup alami, roti ini lebih sehat daripada roti-roti lainnya di pasaran.

Teksturnya keras karena juga tidak menggunakan pengempuk atau pengembang. Hanya mengandalkan proses alami terbentuknya gluten dari pencampuran tepung, air, ragi, dan sedikit garam.

Dari asal katanya yang  mengandung kata sour atau dalam Bahasa Inggris artinya asam, pun mencerminkan bagaimana rasa roti ini. Bisa dibayangkan tidak? Sudah rasanya asam, teksturnya pun keras.

Sweet karma Vollkornbrot pun dimulai!

Saat saya harus beradaptasi dengan lingkungan baru di Jerman saat itu, tentu saya juga beradaptasi bukan hanya dengan pola hidup di sana, tetapi juga makanan Jerman yaitu roti.

Ya, jika di Indonesia kita menemukan banyak nasi dimana-mana, di Jerman kita menemukan banyak roti pun dimana-mana.

Di hari pertama saya mendapati Vollkornbrot, saya hanya menggigitnya sebanyak dua kali saja. Itupun gigitan yang kecil. Lalu, saya tidak mau lagi memakan roti jenis ini.

Rasanya sungguh tidak karuan di lidah saya. Asam, keras, tidak bertekstur. Kompleks pokoknya! Tidak ada unsur "roti-rotian" menurut saya saat itu.

Maklum, lidah saya terbiasa dengan roti-roti manis, lembut dan empuk yang biasa ditemui di pasaran maupun di Minimarket dekat rumah.

Akhirnya, saya pun bergumam bahwa saya tidak akan pernah mau makan Vollkornbrot lagi. Rasanya tidak sanggup membayangkan kalau harus berjumpa lagi dengan rasa asam dan tak karuan itu.

Tetapi, terlalu sering makan roti ternyata membuat perut saya kaget! Biasanya mencerna nasi, eh sekarang harus mencerna roti setiap hari. Sepertinya perut saya sulit beradaptasi mencerna perpindahan bahan makanan ini.

Alhasil, perut saya mengalami masalah pencernaan yang belum pernah saya alami sebelumnya, setelah tiga bulan rutin mengonsumsi roti hampir dua kali dalam sehari.

Metabolisme pencernaan di perut saya menjadi lebih lambat. 

Bingung apa yang harus saya lakukan, teman saya menyarankan saya untuk mengganti konsumsi roti-rotian saya dengan roti Jerman saja, ya si Vollkornbrot ini.

Hah?! Waduh, saya tidak bisa membayangkannya kalau harus memakan roti ini lagi apalagi setiap hari untuk sarapan. Membayangkannya saja, lidah saya sudah enggan, apalagi perut saya.

Tapi teman saya bilang, bahwa Vollkornbrot ini lebih sehat dan roti Jerman itu yang terbaik dimana-mana. Saya hanya mengernyitkan alis saja saat mendengar itu. Masih saja terbayang rasa asam dan tidak karuan itu di mulut saya.

Namun, melihat keseriusan teman saya dalam bercerita, dia pun meyakinkan saya untuk mencoba lagi Vollkornbrot. Katanya, "Mungkin kamu hanya perlu membiasakan diri dengan rasanya".

Hmm, demi pencernaan perut yang lebih baik, akhirnya saya pun mulai memberanikan diri untuk mencoba kembali roti asam dan keras ini. Tentu saja saat harus makan Vollkornbrot lagi, sama sekali tak ada nafsu makan dalam diri saya. Rasa asam dan kerasnya tetap tidak bisa diterima oleh lidah saya.

Bagaimana dengan perut saya? Kebalikannya! Perut saya justru bisa menerimanya dengan sangat baik. Tidak ada lagi masalah pencernaan dalam perut yang saya rasakan. Tidak ada lagi perut kembung dan buncit akibat terlalu sering makan roti.

Seminggu lalu sebulan. Sebulan lalu tiga bulan dan enam bulan. Akhirnya lidah saya mulai bisa menerima rasa aneh dari Vollkornbrot. Saya pun mulai terbiasa dengan campuran Vollkornbrot, keju, dan tomat untuk sarapan sebelum beraktivitas.

Ilustrasi Vollkornbrot untuk sandwich (Sumber gambar: shutterstock.com oleh Nina Firsova)
Ilustrasi Vollkornbrot untuk sandwich (Sumber gambar: shutterstock.com oleh Nina Firsova)
Setelahnya, setiap kali ke Supermarket, saya tidak pernah absen untuk membeli Vollkornbrot. Ya, hanya Vollkornbrot dan bukan roti-rotian empuk dan manis seperti yang dulunya saya makan.

Sepertinya saat itu saya sudah terkena sweet karma saya sendiri. Dari yang tadinya tidak ada rasa di lidah dan perut, tapi karena kebutuhan masalah pencernaan di perut, saya justru tidak bisa lepas dari Vollkornbrot.

Sepulangnya ke Indonesia, ya ini yang saya rindukan. Si Vollkornbrot ini!

Sayangnya, Vollkornbrot tidak banyak dijumpai di sini. Kalaupun ada, dan saya pernah mencobanya, rasanya tidak sama dengan yang di Jerman. 

Maka dari itu saya berinisiatif membuat sourdough starter sendiri untuk menghalau rasa rindu ke si Vollkornbrot ini. Tapi, roti yang saya buat pun masih saja tidak sama rasanya dengan Vollkornbrot di Jerman.

Kalau sudah begitu, lidah dan perut saya hanya bisa membayang-bayangkan saja rasanya yang membuat candu itu.

Tuh kan, saya benar-benar terkena sweet karma. Dulunya tidak mau mengingat-ingat rasa asam, keras, dan tidak karuan si Vollkornbrot. Eh, sekarang malah membayang-bayangkan semua rasa itu. 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun