Setelah lebih dari seperempat abad merasakan kehidupan dengan sinar matahari langsung sepanjang tahun, tibalah hari itu: pertama kali saya merasakan suhu 5° C di bawah langit gerimis tipis sambil membawa dua tas ransel dan satu koper berisikan beban 29 kg.
Kedua mata saya seketika menjadi kering dan "menangis" kala angin bertiup dengan kencangnya. Sialnya, jaket yang saya gunakan ternyata tak cukup tebal untuk menghalau hawa dingin Jerman kala itu. Atau, mungkin saja badan saya yang masih terkaget-kaget dengan semriwing yang dirasakan sambil berjalan kaki sekitar 500 meter dari halte bus ke tempat tinggal saya yang baru.
"Ini masih belum musim dingin, ini baru musim semi, tapi dinginnya udah bikin mager banget", batin saya saat itu.
Tapi ini tidak berlangsung lama. Tubuh saya ternyata cukup cepat beradaptasi dengan cuaca musim semi di bulan April kala itu. Saya hanya perlu memakai kaos kaki tebal, baju hangat berteknologi heattech, serta memakai down jacket yang sudah saya bawa dari Indonesia.
Selain itu, aktivitas kehidupan baru yang saya jalani juga adalah penyemangat menghadapi dinginnya musim. Bak masa-masa bulan madu atau euforia di awal, perjalanan hidup saya benar-benar berbeda dan berwarna.
Dinginnya musim tak berlangsung lama, saat di bulan Mei musim panas pun datang. "Ah, sepanas apa, sih? Palingan masih lebih panas di Indonesia", pikir saya lagi. Benar memang, suhu musim panas tidak sampai 34° C seperti yang biasa saya rasakan di Indonesia sehari-harinya.
Tapi, iklim di Eropa sungguhlah kering, tidak lembab seperti di Indonesia. Meski tak banyak keringat yang mengucur di musim panas, teriknya matahari ternyata lebih terasa membakar ketika bersentuhan dengan kulit.
Kebiasaan memakai tabir surya pun saya mulai dengan musim panas di Jerman. Dulunya, memakai tabir surya saya lakukan hanya ketika saya pergi berlibur ke pantai.
Bagi saya tak ada yang aneh dengan musim panas di Eropa. Mungkin karena sudah terbiasa dengan sinar matahari sepanjang masa, saya bersikap biasa-biasa saja selain membawa kipas tangan ke mana-mana.
Maklum, di ruangan-ruangan kelas di Jerman tidak ada AC. Kipas angin pun tidak selalu ada. Kami hanya mengandalkan angin dari jendela untuk mengusir hawa panas, itupun kalau ada angin. Kalau tidak, yah, apa boleh buat, terus saja fokus dengan pelajaran sambil terus menghidrasi tubuh dengan minum air putih.Â