Mohon tunggu...
Novi Setyowati
Novi Setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Friendzone

24 Januari 2021   08:59 Diperbarui: 24 Januari 2021   09:27 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku suka, karena aku tidak perlu berpura-pura.
Aku suka, karena aku bisa menjadi diriku sendiri.
Aku suka, karena dia pun sepertinya begitu.

Aku merasa sangat nyaman ketika berbicara dengannya.
Aku bisa bercerita banyak hal dengannya.
Kami banyak bertukar pikiran.
Atau bahkan bersenda gurau.

Sayang, terkadang aku tidak tahu bagaimana seharusnya aku memecah keheningan.
Dia terlalu dingin. Ya, lebih sering begitu. "Orang Rusia memang begitu", kata mereka.
Terkadang, dia terlalu hanyut dengan dunianya sendiri dan dengan handphone-nya. Sembari menghabiskan apel atau pisang di waktu istirahat.

"Apa puisi favoritmu dalam Bahasa Indonesia?", sebuah pertanyaan yang belum pernah aku dengar sebelumnya.
"Kenapa memangnya?", tanyaku.
"Nggak, sih. Cuma biar nggak bosan aja", jawabnya sederhana.
Siang itu kami mendaki di Berchtesgaden dengan saling membaca dan menceritakan puisi favorit kami, dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Rusia.

Bahkan ketika aku sudah sangat lelah.
"Lihat sini please. Please please lihat sini please", dia memaksa untuk mengambil gambar diriku dengan kamera handphone-nya.

"Menurutmu, bagaimana dengannya?", pertanyaan yang sore itu kudapat dari seorang teman lainnya.
Jawabku, "Entahlah. Aku tidak tahu. Terkadang aku suka, sangat suka. Terkadang aku biasa saja. Aku rasa, ini hanya akan bertahan pada level Friendzone".

Tidak ada yang spesial tentangnya.
Hanya saja, aku selalu merasa sangat nyaman di dekatnya.
Karena di dekatnya, aku adalah aku.

Tapi, itu kan tentangku.
Dia, mungkin saja berbeda.
"Entahlah, kita lihat saja nanti", lanjutku.

Dokpri
Dokpri
Semalaman aku baper.
"Dicuekin", batinku.
Aku tidak pernah terlalu suka terhanyut dengan handphone-ku.
Inginku, ya, ngobrol, di 30 menit waktu istirahat.
Namanya juga harapan, kadang tidak sampai nyata.
Sayang, mereka selalu terhanyut dengan handphone-nya atau bahkan beberapa batang rokok.
Aku menyerah.
Pikirku, "Besok aku mendengarkan musik saja, toh tidak akan ada yang ingin bicara denganku".

Namanya juga harapan, kadang tidak sampai nyata.
Samar-samar aku dengar, "Sepupuku minggu ini ke Indonesia".
Kalimat yang cukup menarik untukku melepas headset dan menghentikan musik yang sedang kudengar.
"Oh ya? Kemana?", tanyaku penasaran.
"Bali, mereka baru menikah", lanjutnya.
"Oh, iya, Bali sangat indah!", kataku singkat.
Ternyata, pagi itu, aku ada teman bicara.

Dan ternyata, kemarin, aku mendengarnya lagi.
Kali ini tidak lagi samar-samar.
Suaranya terdengar sangat bersemangat!

"Bali itu ternyata indah banget, ya?", katanya sambil setengah takjub.
"Ada ladang padi yang sangat luas!", lanjutnya.
"Oh, iya, itu di Ubud! Memang sangat indah! Aku pun kelak ingin tinggal disana!", sambungku dengan juga bersemangat.
"Kalo saja aku terlahir di Indonesia, aku tidak akan pernah meninggalkannya", katanya bersungguh-sungguh.
Aku bilang, "Tentu! Aku pun tidak akan pernah meninggalkannya! Toh nanti aku akan pulang!".

Lagi. Dia menunjukkan ekspresi yang belum bisa aku mengerti maknanya.
Kali ini ekspresi itu disertai dengan rasa takjub akan Bali dan Ubud.

"Coba lihat ini foto-foto sepupuku yang sedang di Bali!", katanya lagi.
"Datanglah berkunjung! Nanti aku ajak kamu jalan-jalan kemana pun kamu ingin!", kataku menimpali.

Siang itu, pariwisata Indonesia adalah topik yang sangat menarik untuk kami.
Aku tunjukkan tempat-tempat yang pernah aku kunjungi.
Siang itu, berbeda.
Aku bisa mengerti setiap arti dari ekspresi wajahnya!

Pagi ini, semesta sedang bersama kami.
"Kenapa kau menungguku di ujung tangga? Kenapa tidak langsung masuk kelas saja?", batinku.

"Maaf ya, percakapan kita kemarin terhenti karena temanku datang", katanya tiba-tiba.
"Ah, tidak apa-apa. Toh kita bisa bicara lebih banyak lagi nanti", jawabku.

"Aku bahkan sudah tidak lagi mengingatnya. Tapi kau bahkan memikirkan untuk minta maaf padaku," batinku lagi.

Hari ini, kami duduk berdampingan.
Hari ini, aku rasa dia seperti mendekat denganku.
"Ah, tidak mungkin", pikirku.
"Ah, mungkin aku hanya baper", lanjutku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun