Tidak ada yang spesial dari kedatangannya. Hanya peserta kursus baru di kelas. Namanya saja aku tidak tahu. Aku hanya tau dia berasal dari Aljazair -Algeria, katanya- sebuah negara di Benua Afrika -Afrika Utara-, lebih tepatnya.
Aku kira usianya 20 tahun. Aku salah. 28 tahun lebih tepatnya.
Untuk seseorang yang sangat pendiam dan pemalu, aku cukup terkejut ketika dia mulai sangat terbuka denganku.
Aku mulai mendengarkan cerita-cerita tentang keluarganya dan melihat foto-foto keponakannya.
Aku mulai sangat nyaman berbincang dengannya. Dan terus menoleh ke belakang di jalanku pulang, berharap melihatnya dan mengajaknya berjalan bersama ke Hauptbahnhof.
Aku mulai terbiasa berbincang dan berdekatan dengannya di dalam Tram.
"Lain kali kalo mau mendaki, ajak aku, ya? Aku juga suka mendaki. Hanya saja besok, maaf sekali, aku tidak bisa ikut", katanya setelah kami menaiki Tram siang itu.
Katanya, "Iya aku mau ikut. Nanti aku akan buatkan salat sehat untuk makan siang kita". Dia tidak tahu saja, kalau saat itu raut wajahku tidak bisa berhenti tersenyum.
Hingga siang itu, aku mendapat pesan yang sangat formal, "Maaf, aku tidak bisa piknik. Aku mau pindahan".
Aku pun terdiam.
Aku belum bisa melewatkannya.
Hingga Idul Adha itu, sebuah pesan hangat sampai pada handphone-ku.
Sayang. 14.30 CET. Masih terlalu siang untuk ucapan "Guten Abend und bis morgen!".
Aku...patah hati.
Aku mulai ingin melewatkannya.
Hanya saja, siang itu, dia turun bersamaku di Sendlinger Tor, menunjukkanku jalur U2-Messestadt Ost, lalu kembali menuju Hauptbahnhof. Ya, dia mengambil jalur memutar yang lebih panjang. Entah kenapa.
Atau di hari lainnya, melihat-lihat ke arahku, dengan senyum tanpa henti. Batinku, "Hey, aku sedang bicara dengan yang lain, bukan denganmu".
Aku tidak punya banyak waktu lagi di Munich.
Tapi untuk mendaki terakhir kalinya saja, katanya, "Terlalu pagi".
Aku mulai melewatkannya.
Terlalu banyak rahasia dalam dirinya.
Aku tidak mengenali, siapa dia sebenarnya.
Berteman saja, aku pun tidak bisa.
Sesuatu menolak menerima kehadiranku.
Sesuatu memaksaku menjauh.
Aku ragu.
Tapi, pesan terakhirku tidak pernah menerima balasan.
Kataku, "Benarkah?"
Siang itu, aku harus berbincang dengannya untuk sebuah tugas kelas.
Dan aku tahu.
Aku benar-benar sudah melewatkannya.