Mohon tunggu...
Novi Haryati
Novi Haryati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akademisi

Saya suka membaca dan mempelajari hal baru, travelling ke tempat baru, motto saya adalah be brave and be confidence!

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Mengapa Perubahan Teknologi Tidak Hanya Tentang Inovasi? Memahami Konsep Sociotechnical Transition

17 Oktober 2024   08:15 Diperbarui: 17 Oktober 2024   08:28 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Ketika kita memikirkan inovasi teknologi, sering kali yang muncul di benak adalah penemuan terbaru---mulai dari kendaraan listrik hingga kecerdasan buatan. Namun, perubahan teknologi yang signifikan tidak hanya sekadar tentang pengembangan teknologi baru. Inovasi semata tidak cukup untuk mengubah sistem yang ada di masyarakat secara menyeluruh. Dibutuhkan perubahan yang lebih dalam, yang melibatkan struktur sosial, ekonomi, dan politik. Inilah yang disebut dengan sociotechnical transition atau transisi sosioteknis.

Transisi sosioteknis adalah proses kompleks di mana teknologi baru dan perubahan sosial berinteraksi untuk menciptakan pergeseran besar dalam masyarakat. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi apa itu transisi sosioteknis dan mengapa perubahan teknologi yang sukses membutuhkan lebih dari sekadar inovasi teknis.

Apa Itu Transisi Sosioteknis?

Sociotechnical transition adalah konsep yang menggambarkan bagaimana teknologi baru diadopsi dalam masyarakat melalui interaksi antara tiga elemen kunci: niche-innovations, sosioteknis regime, dan landscape.

  1. Niche-innovations: Ini adalah inovasi yang muncul dari skala kecil dan pada awalnya hanya didukung oleh sekelompok kecil aktor (misalnya, startup atau laboratorium penelitian). Inovasi ini sering kali bersifat eksperimental dan tidak segera diterima oleh pasar utama.

  2. Sosioteknis regime: Ini adalah sistem yang sudah mapan di mana berbagai aktor (seperti pemerintah, perusahaan, konsumen, dan regulator) sudah memiliki cara berpikir, kebijakan, dan struktur yang stabil. Misalnya, dalam sistem transportasi, mobil berbahan bakar fosil telah menjadi bagian dari rezim yang sudah mapan selama beberapa dekade.

  3. Landscape: Ini adalah faktor eksternal yang lebih besar, seperti perubahan sosial, politik, atau lingkungan yang terjadi di tingkat makro dan mempengaruhi rezim dan inovasi. Misalnya, perubahan iklim atau krisis energi dapat memberikan tekanan pada rezim yang ada untuk beralih ke teknologi yang lebih berkelanjutan.

Transisi terjadi ketika ada interaksi antara ketiga elemen ini---saat niche-innovations berhasil menembus rezim yang mapan, didukung oleh perubahan di landscape yang memberikan dorongan.

Mengapa Perubahan Teknologi Memerlukan Lebih dari Inovasi?

Inovasi teknologi sering kali dianggap sebagai solusi tunggal untuk banyak masalah masyarakat. Namun, kenyataannya, inovasi yang berhasil tidak hanya tentang menciptakan teknologi baru, tetapi juga tentang bagaimana teknologi tersebut dapat berintegrasi dengan sistem sosial yang ada. Berikut beberapa alasan mengapa perubahan teknologi memerlukan lebih dari sekadar inovasi teknis:

1. Struktur Sosial yang Mapan Sulit Diubah

Sistem sosial, ekonomi, dan politik cenderung stabil dan menolak perubahan yang cepat. Rezim sosioteknis, seperti dalam industri energi atau transportasi, telah dikembangkan selama puluhan tahun dan melibatkan banyak pemangku kepentingan dengan kepentingan berbeda. Sebagai contoh, peralihan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan tidak hanya membutuhkan teknologi yang lebih baik, tetapi juga perubahan dalam regulasi, kebijakan subsidi, dan perilaku konsumen.

2. Teknologi Baru Butuh Dukungan dari Pemangku Kepentingan

Teknologi baru yang muncul dari level "niche" sering kali perlu dukungan dari aktor-aktor besar, seperti pemerintah, industri, dan bahkan pengguna individu, agar dapat diterima secara luas. Tanpa dukungan politik atau perubahan kebijakan yang mendukung, inovasi ini mungkin tetap menjadi sekadar konsep atau teknologi yang digunakan oleh segelintir orang.

Sebagai contoh, kendaraan listrik (EV) awalnya merupakan niche-innovation. Namun, tanpa kebijakan yang mendukung seperti subsidi pemerintah, infrastruktur pengisian daya, dan peningkatan kesadaran konsumen, EV mungkin tidak akan bisa bersaing dengan mobil berbahan bakar bensin yang lebih mapan.

3. Tekanan Lingkungan Mempercepat Perubahan

Teknologi baru seringkali berhasil diadopsi ketika ada tekanan dari landscape yang mengharuskan perubahan dalam rezim yang ada. Misalnya, perubahan iklim dan meningkatnya kesadaran akan kerusakan lingkungan telah menciptakan tekanan global bagi rezim energi untuk beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan. Tekanan ini tidak hanya datang dari konsumen, tetapi juga dari pemerintah yang menerapkan regulasi yang lebih ketat dan perusahaan yang ingin memperbaiki citra lingkungan mereka.

4. Perubahan Teknologi Membutuhkan Perubahan Nilai dan Budaya

Selain faktor teknis dan kebijakan, transisi teknologi juga memerlukan perubahan nilai dan budaya masyarakat. Sebuah teknologi mungkin secara teknis unggul, tetapi jika tidak sesuai dengan budaya atau kebiasaan masyarakat, teknologi tersebut akan sulit diterima. Misalnya, penggunaan sepeda listrik di negara-negara Eropa mendapat dukungan besar karena budaya mereka yang menghargai transportasi ramah lingkungan. Sebaliknya, di negara-negara yang lebih bergantung pada mobil pribadi, transisi ke sepeda listrik mungkin memerlukan lebih banyak waktu dan upaya perubahan budaya.

Contoh Kasus: Transisi Energi di Dunia

Peralihan dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan adalah salah satu contoh transisi sosioteknis yang sedang berlangsung di seluruh dunia. Meskipun teknologi seperti panel surya dan turbin angin telah ada selama beberapa dekade, adopsi luas teknologi ini baru benar-benar terjadi ketika landscape politik dan sosial mulai berubah. Perubahan ini didorong oleh krisis iklim, regulasi yang lebih ketat terhadap emisi karbon, serta perubahan preferensi konsumen yang semakin sadar lingkungan.

Namun, transisi ini juga menghadapi tantangan besar, seperti infrastruktur energi yang belum sepenuhnya mendukung energi terbarukan, serta kepentingan industri yang telah lama bergantung pada bahan bakar fosil. Oleh karena itu, meskipun inovasi teknologi tersedia, transisi penuh menuju energi bersih memerlukan perubahan yang lebih luas dalam regulasi, kebijakan, dan perilaku sosial.

Kesimpulan

Transisi teknologi bukanlah proses yang linier atau sederhana. Inovasi teknologi saja tidak cukup untuk menciptakan perubahan besar dalam masyarakat. Dibutuhkan interaksi antara teknologi baru, struktur sosial yang ada, dan tekanan dari lingkungan eksternal agar transisi sosioteknis dapat terjadi. Dalam menghadapi tantangan global seperti krisis iklim, pemahaman tentang bagaimana inovasi teknologi bekerja bersama dengan dinamika sosial dan politik sangat penting untuk memastikan perubahan yang berkelanjutan dan efektif.

Dengan memahami konsep transisi sosioteknis, kita dapat melihat bahwa perubahan teknologi adalah proses yang kompleks, tetapi juga penuh dengan peluang jika dikelola dengan tepat. Teknologi dan inovasi hanyalah sebagian dari solusi---yang terpenting adalah bagaimana kita mengintegrasikannya ke dalam sistem sosial yang lebih besar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun