Berkembangnya dunia tekhnologi informasi menghasilkan banyak sekali aplikasi dan media sosial. Adanya jaringan dunia maya (internet) yang dapat diakses oleh siapa saja membuat timbulnya resiko dalam penggunaannya. Kemajuan ini tentu memiliki sisi baik dan buruknya. Sisi baiknya, keberadaan dunia maya dapat menghubungkan satu manusia dengan manusia lainnya tanpa harus bertatap muka. Sedangkan sisi buruknya, keberadaan dunia maya telah berkontribusi pada munculnya berbagai kejahatan yang muncul dengan pola berbeda yang diuntungkan dari perkembangan teknologi tersebut. Kehadiran media sosial juga berdampak pada peningkatan kejahatan yang sebelumnya tidak ada, serta meningkatkan jenis kejahatan yang hadir dalam versi elektronik. Jenis kejahatan yang banyak bermunculan saat ini adalah kejahatan yang mengarah pada kejahatan pornografi dan kejahatan seksual yang terjadi di media sosial, baik di Instagram, WhatsApp atau akun media sosial lainnya. Salah satu jenisnya adalah child grooming yang merupakan jenis kejahatan baru dimana eksploitasi seksual banyak dilakukan pada anak-anak seperti yang dilakukan di media sosial akibat kemajuan teknologi. Jika keberadaan internet tidak didukung oleh perangkat hukum yang dapat mengatur setiap manusia, maka pasti banyak orang yang bisa menjadi penjahat atau korban kejahatan.
Grooming adalah kata yang digunakan untuk merujuk pada proses eksploitasi seksual anak dengan tujuan membangun kepercayaan atau hubungan dengan anak untuk mengikis batas-batas anak. Eksploitasi seksual anak adalah suatu bentuk pelecehan seksual di mana pelaku menggunakan kekuatan mereka, baik fisik, finansial, atau emosional, atas seorang anak atau remaja, atau menggunakan identitas palsu, untuk melecehkan anak secara seksual atau emosional. Grooming adalah salah satu proses yang digunakan oleh pelaku, yang sering menargetkan anak-anak. Pelecehan seksual merupakan salah satu jenis kejahatan yang diuntungkan dengan kemajuan dunia maya. Bagaimana grooming bisa disebut sebagai modus baru pelecehan seksual karena terdapat langkah-langkah atau upaya yang dilakukan oleh pelaku sebelum melakukan pelecehan dengan pendekatan kepada korban, bujuk rayu dan sebaginya sehingga ada niat dan rangkaian rencana yang mendukung tindak pidana kejahatan pelecehan seksual dilakukan. Kasus grooming yang baru saja di tangani oleh pihak yang berwenang adalah yang berpotensi kepada pelecehan seksual pada anak hingga penculikan pada anak.
Child grooming merupakan suatu tindakan mengajak atau membujuk anak yang bertujuan untuk mengeksploitasi anak secara seksual. Pada kasus-kasus umumnya, proses grooming ini dilakukan secara bertahap, dimulai dengan seleksi calon korban. Pelaku memilih korbannya dengan mempertimbangkan beberapa faktor, diantaranya: (i) daya tarik korban (appeal/attractiveness) yang ditentukan oleh hasrat pelaku sendiri, (ii) kemudahan akses sosial media korban (misalnya, pengaturan privasi pada situs, platform, atau aplikasi yang digunakan oleh korban belum terpasang atau disabled) dan/atau (iii) kerentanan korban (misalnya, korban mem-posting kondisinya yang sedang tinggal sendiri di rumah atau merasa tidak bahagia secara psikologis). Setelah menentukan target korbannya, pelaku akan mencoba berbagai cara untuk menghubungi korban. Apabila sudah berhasil, pelaku akan berusaha membangun hubungan pertemanan dengan korban dan menciptakan suasana yang nyaman bagi korban. Hingga akhirnya korban merasa terikat secara emosional dengan pelaku dan mungkin memiliki hubungan romantis dengan pelaku, di saat itulah pelaku siap melakukan aksi kejahatannya, yakni mengeksploitasi korban secara seksual.
Ditinjau dari segi kriminologi pelaku kejahatan grooming, dari beberapa aliran dalam kriminologi mahzab bio-sosiologis kasus grooming ini merupakan kejahatan yang dihasilkan dari unsur-unsur yang terdapat dalam individu, masarakat, dan keadaan fisik serta mengalami perkembangan dengan keadaan lingkungan. Menunjukkan bahwa teori penjahat dapat mengulang atau bahkan melakukan kejahatan lain karena sifat jahatnya itu sudah ada sejak ia lahir dan ditambah dengan faktor lingkungan. Dipandang dari sisi kriminologi sudah jelas bahwa perbuatan grooming ini dinilai telah masuk ke dalam sifat dan ciri objek dari kriminologi yaitu:
a) Â Â Â kejahatan dan tingkah laku yang menyimpang: dimana kejahatan yang dilakukan pelaku kepada para korban anak merupakan kejahatan sebagai pola tingkah laku yang merugikan masyarakat, baik secara fisik maupun materi, baik yang dirumuskan dalam hukum maupun tidak. Pelaku mempunyai perilaku menyimpang dan tidak mengikuti pola tingkah laku serta nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Tingkah laku yang dilakukan merupakan perbuatan yang dilarang dan menimbulkan korban, menyebabkan keresahan masyarakat sehingga kepada pelalakunya harus dikenakan sanksi pidana.
b) Â Â Â Penjahat, Pelaku kejahatan dan penyimpangan: konsep penjahat bagi kriminologi adalah apabila pola tingkah lakunya adalah tingkah laku kejahatan yang bersifat menetap. Menurut (Sutherland, Cressey, Luckenbill; 1992) tindakan kejahatan merupakan karakter dari orang tersebut yang sudah menjadi karakter pelakunya dan dilakukan secara berulang-ulang. Dengan demikian, apabila ada seseorang yang melakukan tindakan pelanggaran hukum pidana tetapi tindakan pelanggaran hukum pidananya bukan merupakan pola tingkah lakunya, orang tersebut belum dapat dikategorikan sebagai penjahat, karena sifat tingkah lakunya bersifat situsional atau tidak menetap.
c) Â Â Â Â Reaksi sosial terhadap kejahatan dan penjahat: terdapat dua reaksi yaitu reaksi sosial formal dan reaksi sosial non formal. Dimana reaksi sosial formal merupakan tindakan yang dilakukan oleh masyarakat melalui pembentukan pranata formal untuk penanggulangan kejahatan serta pembuatan aturan formal (hukum) yang mengatur tingkah laku anggota masyarakat. Reaksi sosial non formal adalah apabila masyarakat melakukan tindakan penanggulangan kejahatan dan tidak mengandalkan pada bekerjanya pranata sosial formal.
d)    Korban kejahatan: dalam kasus grooming  ini dirasakan oleh anak-anak baik perempuan dan laki-laki, khususnya dalam beberapa kasus kebanyakan korban merupakan murid-murid yang masih di bawah umur.
Jika ditinjau dari ruang lingkup kriminologi, kasus grooming termasuk kedalam bentuk kejahatan yang disertai dengan perilaku pelaku yang menyimpang berdasarkan norma yang hidup di masyarakat. Pelaku melakukaan pola tingkah laku dan motiv untuk melakukan kejahatan dengan menggunakan usaha akun palsu yang mengatsnamakan dirinya sebagai orang yang dikenal atau dekat dengan anak. Korban kejahatan yang menjadi subyek kejahatan grooming oleh pelaku adalah para murid atau anak-anak. Reaksi masyarakat terhadap kasus ini sangat gempar karena grooming merupakan usaha kejahatan yang tidak begitu dapat dilihat secara kasat mata apabila tidak diperhatikan secara detail bagaimana anak memainkan media sosial miliknya atau dengan siapa saja mereka berkomunikasi, karena semua kegiatan kejahatan mulai dari pencabulan, pelecehan seksual hingga kejahatan seksual lainnya hanya dilakukan via elektronik yaitu terkhusus media sosial milik para korban anak.
Kasus ini sangat dapat dikaitkan dengan teori kriminologi yaitu subkultural delikuensi dimana menurut teori ini, perilaku jahat itu merupakan sifat-sifat struktur sosial dengan pola budaya yang khas dari lingkungan dan masyarakat yang dialami oleh penjahat. Dimana terjadi dalam beberapa kasus pelaku merupakan seorang narapidana yang telah mempunyai rekam jejak kejahatan dan kemungkinan tingkat kejahatannya berkembang ketika ia berada dalam lembaaga pemasyarakat saat sedang menjalani hukuman sebagai narapidana. Jika dilihat dari teori differential association, yang menyebutkan bahwa perilaku kejahatan ini merupakan perilaku yang dipelajari dan bukan di warisi dikarenakan pelaku mempelajari perkembangan jaman dan melakukan aksinya menggunakan aplikasi dalam media sosial untuk berbuat jahat. Perilaku kejahatan ini dipelajari dalam interkasi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi dengan korban anak-anak grooming ini. Yang menjadi bagian penting dalam kasus grooming adalah dalam proses mempelajari tingkah laku kejahatan, dimana mempelajari teknik melakukan kejahatan dan motif-motif ang dilakukan, dorongan, alasan pembenar dan sikap sebagai arah motif untuk menguntungkan terdangka.