Sosiolog Jerman Lewis A. Coser, kelahiran 27 November 1913. Ia merupakan keluarga Borjouis Yahudi di Berlin. Ayahnya bernama Martin dan ibunya bernama Margarete Coser. Riwayat pendidikannya diperoleh dari Columbia University. Karya tulis disertasi pertamannya yaitu The Functions of Social Conflict yang terbit pada tahun 1956. Coser dalam kajian Sosiologi berfokus pada fungsi konflik sosial. Ia berpendapat bahwa konflik tidak selamannya dipandang negatif, sebaliknya konflik sosial dapat dijadikan sebagai penguat kelompok sosial tertutup.Â
Coser menyumbangkan menarik mengenai fungsi konflik dari kacamata sisi optimistik. Ia mengangkat kata kunci "katup pengaman", dijelaskan bahwa konflik dapat memperlancar mekanisme toleransi dan revitalisasi struktur, disamping itu juga sebagai sistem pelindung bagi kelompok lain, konflik juga sebagai saluran baru dalam menyatakan ketidak puasan.
Sejak perkembangan ilmu sosial klasik hingga abad postmodern terutama ilmu sosiologi, psikologi, dan hubungan internasional telah mengkaji studi konflik. Konflik selalu menjadi bagian hidup sosial dan politik manusia serta sebagai pendorong dinamika dan perubahan sosial politik. Istilah konfik selalu dipandang sebahai makna negatif, ketidaknyamanan, dan ketidakharmonisan.
Manusia merupakan makhluk konfliktis atau homo conflictus, yaitu makhluk yang selalu menyatu dengan perbedaan, pertentangan, serta persaingan baik sukarela atau paksaan. Pertentangan dapat muncul dalam bentuk ide atau fisik antara dua belah pihak. Konflik dapat hadir dengan skala berbeda seperti konflik antar orang (interpersonal conflict), konflik antar kelompok (intergroup conflict), konflik antar negara (vertical conflict), konflik antarbegara (interstate conflct).
Pada bagian ini, saya mencoba mengaitkan relevansi antara teori konflik Lewis A. Coser dengan pengalaman saya pada masa pandemi Covid-19. Berbagai konflik terjadi dalam masa tersebut, mulai dari permasalahan terkecil yaitu adanya larangan-larangan untuk melakukan kegiatan yang menimbulkan suatu kerumunan, berjaga jarak, bekerja di rumah saja (WFH), himbauan menggunakan masker, dll. Dusun saya menerapkan kebijakan Lock Down dan juga pendirian posko Satgas Covid-19. Petugas satgas terdiri dari pemuda pemudi dusun, mereka ditugaskan untuk menyemprot warga yang hendak melintas masuk ke dalam dusun. Kebijakan dari pemerintah tersebut tidak semua diindahkan oleh warga masyarakat. Banyak pihak-pihak yang tidak berfikir panjang melakukan pelanggaran yaitu menerobos palang pintu sehingga menimbulkan konflik antara petugas satgas covid-19 yang berjaga di posko tersebut. Konflik yang terjadi memicu amarah dari kedua belah pihak bahkan sampai terbawa berkelahi. Akibat dari konflik pelanggaran tersebut merugikan berbagai pihak mulai dari petugas, warga, rt/rw, bahkan sampai kepala dusun.
Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah pemicu dari konflik berasal dari pelaku konflik. Setiap konflik mempunyai latar belakang dan arah perkembanganya masing-masing. Tetapi konflik sebenarnya dapat dikelola dengan bijaksana sehingga mendinamisasi proses sosial dan tidak menimbulkan kekerasan.
Referensi :
Novri Susan, M,A. (2009). "Sosiologi Konflik & Isu-isu Konflik Kontemporer". Jakarta : Kencana
Zainuddin Maliki. e-book "Rekonstruksi Teori Sosial Modern". UGM Press.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H