Izinkan aku mencintaimu dengan telat. Tak terburu tak pula klimaks. Seperti petani dengan secangkir kopinya di pagi hari, dengan mata yang kosong, dengan nafas yang berat, tertahan oleh asa anak cucunya. Ia pun berpikir, “Mampukah biji padi hari ini menjadi emas?”.
Biarkan aku mencintaimu dengan telat. Tak mengejar tak pula meloncat. Seperti komentator bola menunggu peristiwa gol kemenangan. Membiarkan pemain melincahkan kakinya menggiring bola, bersilangan dengan lawan, hingga ia menggepalkan tangannya dengan kuat, dan rahangnya pun menggeram.
Jika nanti tiba waktunya, kau sudah kenyang dengan menu kebebasanmu dan citamu, kupastikan kakiku tetap berdiri tak melangkah, juga tak bergeser. Aku punya tangan yang lebar untuk tubuh lelahmu. Karena aku ingin mencintaimu dengan telat…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H