Mohon tunggu...
Novida Balqis Fitria Alfiani
Novida Balqis Fitria Alfiani Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kedok Negara Jajahan Ekonomi China terhadap Muslim Uighur

16 Maret 2019   10:32 Diperbarui: 16 Maret 2019   11:16 213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Oleh: Fahmiyah Tsaqofah Islamiy

Uighur, merupakan minoritas muslim China dengan pengalaman diskriminasi bertahun-tahun lamanya yang berlangsung hingga detik ini, oleh rezim Komunis China yang anti-Islam.

Himpitan dalam mendapatkan hak-hak sebagai warga negara yang wilayahnya di klaim milik pemerintah China, membuat Muslim Uighur terus mengalami penderitaan berkepanjangan.

Menurut Human Rights Watch, suku Uighur khususnya, dipantau secara sangat ketat. Mereka harus memberikan sampel biometrik dan DNA. Dilaporkan terjadi penangkapan terhadap mereka yang memiliki kerabat di 26 negara yang dianggap 'sensitif'. Dan hingga satu juta orang telah ditahan. Kelompok-kelompok HAM mengatakan orang-orang di kamp-kamp itu dipaksa belajar bahasa Mandarin dan diarahkan untuk mengecam, bahkan meninggalkan keyakinan iman mereka. (BBC.com, 19/01/2018)

Hal inilah yang pada akhirnya menyebabkan pembunuhan karakter melekat pada pemerintah China melalui kecaman-kecaman kritis di kancah Internasional, khususnya di negara-negara mayoritas muslim.

Namun, perusakan reputasi terhadap China oleh berbagai negara di dunia, sejatinya tak memberikan dampak kerugian yang besar terhadap  perekonomian China. Mengingat apa yang dilakukan rezim Xi Jinping atas Uighur adalah representasi euforia Presiden Xi dalam menghidupkan kembali jalur perdagangan internasional yang terkoneksi di kota Xinjiang, domisili minoritas muslim Uighur.

Selain itu, kiprah China dalam menamkan investasi di negara-negara yang terkategori negara berkembang, sangat mempengaruhi diplomasi negara-negara tersebut terhadap China. 

Sebut saja di Indonesia, kiprah China memberikan sumbangsih bantuan Utang Luar Negri (ULN) dan dorongan pembangunan infrastruktur kepada pemerintah Indonesia rasanya cukup memantik kekhawatiran yang memuncak hingga berubah menjadi ketundukan terhadap kebijakan aseng, hal inilah yang akhirnya membuat Indonesia seolah terisolasi dengan perjanjian-perjanjian dengan negeri Jiran tersebut.

Peneliti Kebijakan Luar Negeri dan Politik Asia Tenggara dari International Institute for Strategic Studies (ISS), Aaron Connelly, menganggap isu Uighur ini sensitif bagi publik Indonesia sehingga Pemerintah tak bisa vokal bersuara terkait isu Uighur, salah satunya karena kerja sama ekonomi terutama modal Beijing yang cukup besar tertanam di Indonesia.

Pengamat politik internasional dari Universitas Indonesia, Agung Nurwijoyo, juga turut bersuara. Menurutnya, daripada menggunakan megaphone diplomacy, soft diplomacy lebih baik digunakan Indonesia dalam menanggapi isu Uighur dengan pemerintah China. Teguran keras Indonesia terhadap kebijakan China justru bisa berimbas buruk pada relasi bilateral kedua negara. Secara global, ketergantungan Indonesia terhadap China juga tinggi.

Berdasarkan data yang dirilis di situs Bank Indonesia tercatat pada Juli,  jumlah utang ke Negeri Tirai Bambu pada Mei 2017 sebesar 15,491 miliar dolar AS atau sekitar Rp 206 triliun. Tak pelak, peningkatan jumlah utang ke Cina sejalan dengan naiknya nominal Utang Luar Negri (ULN) Indonesia.

Utang luar negeri (ULN) Indonesia kuartal I-2018 tercatat US$ 358,7 miliar atau setara dengan Rp 5.021 triliun (kurs Rp 14.000). Mengutip data dari statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) periode Mei 2018 utang luar negeri pemerintah kuartal I tercatat US$ 181,13 miliar atau sekitar Rp 2.535,8 triliun. Jumlah ini meningkat dibandingkan periode Februari 2018 sebesar US$ 177,85 miliar.

Motif diplomasi ekonomi lah yang secara telanjang menceritakan kepada publik akan sikap Indonesia yang tak berkutik apalagi berpihak pada muslim Uighur. Tentu hal ini menandakan tergadainya kedaulatan Indonesia sebagai negara mayoritas muslim hingga tak bisa menentukan sikapnya terhadap saudara seaqidahnya.

Keterjajahan negara semacam ini tentu dapat diatasi dengan mengembalikan regulasi pemerintahan negara terkait kepada pencipta dan pengatur manusia, yakni Allah SWT dengan penerapan sistem pemerintahan Islam yang berlandaskan Al-Qur'an dan As-Sunnah. Sistem yang syar'i inilah yang akan membebaskan institusi negara dari kungkungan penjajahan Neoliberalisme dan Neoimperialisme maupun segala bentuk penjajahan lainnya.  Wallahu 'alam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun