Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk dari berbagai ragam kelompok suku, etnis, budaya, bahasa, agama dan lain-lain. Dengan keragaman tersebut maka bangsa Indonesia dapat dikatakan sebagai bangsa yang mempunyai "multikultural".
Berdasarkan data dari Sensus Penduduk terakhir yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Republik Indonesia, diketahui jumlah suku di Indonesia yang berhasil terdata sebanyak 1.128 suku bangsa dan sedikitnya ada 442 bahasa daerah di Indonesia. Namun jumlah tersebut bisa saja kurang dari jumlah yang sebenarnya, hal ini dikarenakan luas wilayah Indonesia yang begitu luas dan terdapat beberapa wilayah pedalaman yang masih sulit dijangkau.
Dari zaman dahulu kebudayaan telah melekat di dalam masyarakat Indonesia, salah satunya adalah paguyuban. Paguyuban atau gemeinschaft adalah kelompok sosial yang anggota-anggotanya memiliki ikatan batin yang murni, bersifat alamiah, dan kekal. Ada tiga Tipe paguyuban
Paguyuban karena ikatan darah (gemeinschaft by blood)
Contoh: keluarga, kelompok kekerabatan.
Paguyuban karena tempat (gemeinschaft of place)
Contoh: Rukun Tetangga, Rukun Warga.
Paguyuban karena ideologi (gemeinschaft of mind)
Contoh: partai politik berdasarkan agama
Kembali ke judul diatas, disini saya akan membahas mengapa sih kebudayaan Paguyuban ini mulai memudar? Dilihat dai arti dan tujuannya positif saja untuk kemajuan negeri tercinta ini. Hmmm ada apakah gerangan?
Usut punya usut ternyata semua ini memudar karena manusia ini sendiri, mulai dari orang yang individualismenya tinggi, acuh tak acuh dengan keadaan sekitar, bangga dengan budaya luar dan masih banyak lagi, sehingga membuat negeri ini kerisis identitas.
Kebudayaan-kebudayaan bangsa sekarang sudah mulai luntur dari masyarakat kita karena masyarakat kita khususnya para pemuda lebih condong senang meniru budaya-budaya luar dari pada budaya asli kita sendiri. Remaja sekarang ini berbeda jauh dengan remaja-remaja zaman dulu.
Jika remaja dulu cenderung aktif, kreatif, ulet dan mau berusaha sedangkan remaja sekarang ini sudah dimanjakan dengan peralatan serba canggih dan makanan instan, dan kebanyakan tidak mau berusaha dengan keras, sebagi generasi penerus hendaknya kita harus berusaha lebih keras . Zaman yang serba ada ternyata mampu membuat seorang menjadi pemalas dan lamban dalam berfikir serta bertindak.
Nasib bangsa Indonesia dan nilai-nilai kebudayaan sangat tergantung kepada kemampuan penalaran, skill, dan manajemen masyarakat khususnya kaum muda sebagai generasi penerus.
Sayang sekali sampai dengan saat ini, masyarakat Indonesia mengalami krisis kebudayaan. hal ini disebabkan Kebudayaan asli bangsa Indonesia dibiarkan merana, tidak terawat, dan tidak dikembangkan oleh pihak-pihak yang berkompeten .
Bahkan kebudayaan asli bangsa terkesan dibiarkan mati merana digerilya oleh kebudayaan asing khususnya kebudayaan barat. Semangat rakyat yang senang bergotong royong dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, bermusyawarah memutuskan cara penyelesaian masalah sudah sangat jarang terlihat. Nilai-nilai kebudayaanpun sudah mulai hilang terlindas oleh kemajuan jaman .
Dahulu, nilai gotong royong sangat terasa sekali, jika ada tetangga yang melaksanakan hajatan. Ketika petani mau menanam padi, pasti tidak bayar, upahnya hanya makan pagi dan siang atau makan kecil.
Jadi, kalau ada diantara mereka menanam atau memanen, maka warga yang lainnya ikut gotong royong dan begitu sebaliknya, terjadi semacam barter tenaga.
Sekarang keadaanya telah bergeser, kalau mau bercocok tanam atau panenan sudah harus memperhitungkan upah. Bahkan sekarang banyak orang yang berfikir praktis, cukup memberi uang dan tidak usah ikut gotong royong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H