Sebagai bapak logika, Aristoteles memperkenalkan konsep-konsep dasar dalam penalaran deduktif melalui karyanya yang dikenal sebagai Organon. Menurut Aristoteles, "Logika adalah instrumen atau alat yang digunakan untuk berpikir secara benar." Ia mengembangkan logika silogisme, yang merupakan proses menarik kesimpulan dari dua premis yang terkait. Misalnya, dalam logika silogisme:
Premis 1: Semua manusia adalah fana.
Premis 2: Socrates adalah manusia.
Kesimpulan: Socrates adalah fana.
Pendekatan Aristoteles menjadi dasar bagi perkembangan logika formal yang digunakan hingga saat ini.
2. Menurut Irving M. Copi (1978)
Dalam bukunya Introduction to Logic, Copi mendefinisikan logika sebagai "studi tentang metode dan prinsip yang digunakan untuk membedakan penalaran yang baik dan penalaran yang buruk." Copi menggarisbawahi pentingnya logika dalam mengevaluasi argumen dan memastikan bahwa kesimpulan yang ditarik adalah hasil dari premis-premis yang sah. Logika tidak hanya berfungsi untuk menemukan kesalahan dalam argumen, tetapi juga untuk menyusun argumen yang valid.
3. Menurut John Stuart Mill (1843)
Mill dalam karyanya A System of Logic menjelaskan logika sebagai "ilmu tentang bukti dan metode untuk mencapai kesimpulan yang benar." Mill lebih fokus pada aspek induktif dalam logika, di mana generalisasi dibuat berdasarkan pengamatan empiris. Menurutnya, logika berperan dalam memastikan bahwa proses generalisasi tersebut didasarkan pada pola-pola yang teramati dalam kenyataan, sehingga kesimpulan yang dihasilkan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
4. Menurut R. H. Ennis (1996)
Ennis mendefinisikan logika sebagai "ilmu yang mempelajari teknik dan metode yang digunakan untuk menilai argumentasi." Dalam konteks berpikir kritis, logika membantu individu dalam mengidentifikasi kekeliruan atau fallacy dalam argumen, serta memastikan bahwa setiap argumen didukung oleh bukti yang cukup dan relevan. Pemikiran logis, menurut Ennis, adalah landasan bagi berpikir kritis yang efektif.