Kita semua tahu, setiap Oktober di Indonesia selalu diperingati sebagai Bulan Bahasa dan Sastra. Ini adalah waktu di mana berbagai kegiatan literasi diadakan, mulai dari lomba baca puisi, debat bahasa, hingga seminar-seminar keren tentang pentingnya literasi. Tapi, mari kita hadapi kenyataan: meskipun Bulan Bahasa ini selalu hadir, angka literasi di Indonesia masih saja rendah. Kok bisa, ya? Yuk, kita bahas bareng-bareng alasan di balik fenomena ini.
1. Literasi Itu Bukan Sekadar Bisa Baca dan Tulis
Ketika kita bicara soal literasi, ini sebenarnya bukan cuma soal bisa baca atau tulis saja. Literasi yang sesungguhnya adalah tentang kemampuan memahami, menganalisis, dan berpikir kritis dari apa yang kita baca. Sayangnya, banyak yang masih mengira kalau sekadar bisa membaca sudah cukup. Padahal, literasi sejati adalah tentang bagaimana kita bisa memanfaatkan informasi dari bacaan untuk mengembangkan wawasan dan membuat keputusan dalam kehidupan sehari-hari.
2. Kegiatan Literasi yang Hanya "Sekali Setahun"
Nah, di Bulan Bahasa, kita sering melihat sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan gencar mengadakan acara bertema literasi. Tapi, jujur saja, setelah Bulan Bahasa berlalu, banyak kegiatan ini ikut menghilang juga. Padahal, untuk meningkatkan literasi, seharusnya ada upaya yang konsisten sepanjang tahun, bukan cuma di satu bulan khusus. Literasi itu ibarat tanaman; harus disiram dan dirawat terus, bukan cuma disiram sekali lalu dibiarkan begitu saja.
3. Budaya Baca yang Masih Rendah
Bicara soal literasi, kita nggak bisa lepas dari budaya membaca. Fakta yang cukup bikin miris, tingkat minat baca di Indonesia masih rendah. Di era digital, orang lebih suka mengonsumsi konten visual seperti video atau gambar ketimbang membaca. Meskipun pemerintah sudah menyediakan perpustakaan digital dan sumber bacaan online, nggak semua orang merasa tertarik untuk membaca. Mungkin karena membaca dianggap kurang praktis atau bahkan membosankan.
4. Kurangnya Peran Lingkungan Keluarga
Literasi juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga. Jika anak-anak tumbuh di keluarga yang tidak terbiasa membaca atau berdiskusi tentang buku, mereka pun cenderung tidak memiliki minat membaca. Padahal, kebiasaan membaca bisa mulai dibangun dari keluarga. Misalnya, orang tua yang rajin membacakan cerita sebelum tidur atau menyediakan koleksi buku di rumah. Sayangnya, ini belum jadi kebiasaan umum di banyak keluarga di Indonesia.
5. Tantangan di Era Digital
Kita hidup di era digital yang serba instan. Media sosial, berita daring, dan konten viral jadi lebih menarik karena cepat dan mudah dicerna. Di sisi lain, buku atau artikel panjang justru dianggap melelahkan untuk dibaca. Literasi yang baik butuh waktu, perhatian, dan juga ketelitian, yang semuanya cukup menantang di zaman serba cepat ini. Akibatnya, banyak orang hanya "sekilas baca" tanpa benar-benar memahami makna yang mendalam.