Mohon tunggu...
Novia Rifana Hidayat
Novia Rifana Hidayat Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UPN "Veteran" Yogyakarta

UPN Veteran Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ekonomi Berkeadilan di Sektor Agrikultur : Perspektif Akad Salam

16 Desember 2024   11:08 Diperbarui: 16 Desember 2024   11:09 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan data FAO (2016), Indonesia menempati urutan ketiga dunia dan total produksi beras sekitar 79,36 juta ton per tahun. Indonesia merupakan produsen beras terbesar di dunia setelah China, dengan total produksi sebesar 206,5 juta ton/tahun, dan India merupakan produsen terbesar kedua, dengan total produksi sekitar 153,8 juta ton/tahun. Data-data tersebut mendukung posisi Indonesia sebagai negara agraris.

Namun, pada beberapa tahun terakhir Indonesia mengalami banyak lahan pertanian beralih menjadi perumahan atau industri yang mengancam ketahanan pangan, penurunan produksi pangan ini merupakan tindakan penanggulangan yang penting. Hal ini akan menyesuaikan kembali kebijakan antar sektor sehingga sektor pertanian Indonesia dapat terus tumbuh dan memenuhi kebutuhan pangan masyarakat lokal tanpa harus mengimpor beras. Hasil Sensus Pertanian (ST) tahun 2013 menunjukkan bahwa jumlah petani terbanyak (55,3%) di Indonesia adalah petani kecil (Badan Pusat Statistik, 2013). Oleh karena itu, petani kecil mempunyai peran penting dalam memenuhi kebutuhan pertanian Indonesia.

Tetapi terdapat risiko yang mereka hadapi, petani kecil (petani yang memiliki atau menyewa lahan pertanian kurang dari 0,5 hektar) tidak dapat sepenuhnya diandalkan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Risiko ini mempengaruhi perilaku petani ketika memutuskan untuk meningkatkan produktivitas. Berdasarkan data BPS bulan Desember 2013 sebanyak jumlah petani kecil mengalami penurunan sebanyak (25,07%) dibandingkan tahun 2003.

Petani kecil menghadapi banyak jenis risiko yang berbeda. Hal ini menyebabkan petani kecil merasa terkekang dan tidak mampu mengembangkan hasil panennya akibat kurangnya modal, pinjaman yang terlalu mahal, risiko gagal bayar, dan perubahan perilaku perantara. Sesungguhnya, petani berada di garis depan dalam meningkatkan produksi pangan. Alasan utama di balik ketimpangan ini adalah "bunga" yang digunakan oleh rentenir sebagai biaya modal dan sebagai dasar pemberian pinjaman lain kepada petani.

Berdasarkan kasus di atas mendorong untuk menciptakan solusi ekonomi yang berkeadilan dengan pembiayaan yang efektif dan efisien bagi petani di Indonesia. Oleh karena itu pembiayaan berbasis syariah sangat penting. Pembiayaan akad salam merupakan salah satu produk perbankan syariah yang tersedia di sektor pertanian, namun tidak tersedia di Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di Indonesia. Akad salam mempunyai potensi strategis bagi pengembangan sektor pertanian. Hal ini bertujuan untuk mencapai sikap gotong royong dan kemauan, menghindari kezaliman dan penipuan, dan terutama menghindari riba.

Akad Salam adalah akad jual beli barang pesanan dengan pengiriman dikemudian hari oleh penjual dan pembayarannya dilakukan oleh pembeli pada saat akad disepakati sesuai dengan syarat-syarat tertentu. Adapun rukun salam adalah ada pembeli (muslam), ada penjual (muslam illaih), ada modal atau uang (ra'sul mal), ada barang (muslam fiih), dan akad (Nasution, 2016). Ada dua syarat atau ketentuan dalam akad salam yang wajib dipenuhi. Pertama: ketentuan barang dalam salam adalah harus dapat dijelaskan spesifikasinya, penyerahan dilakukan kemudian, pembeli tidak boleh menjual barang sebelum menerimanya, serta tidak boleh menukar barang kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan. Kedua: ketentuan pembayarannya adalah harus diketahui jumlah dan bentuknya (baik berupa uang, barang atau manfaat), harus dilakukan pada saat kontrak disepakati, serta tidak boleh dalam bentuk pembebasan hutang (Fatimah, 2016).

Qusthoniah (2016) menulis tentang "Perbankan Analisis Kritis Akad Salam dalam Syariah". Penelitiannya mengungkapkan bahwa Akad Salam merupakan akad untuk menjual barang secara tetap dan dengan pembayaran di muka. Hal ini diperlukan apabila produk yang dipesan merupakan produk yang dapat ditentukan dengan menetapkan kriteria. Tujuan dinyatakannya kriteria tersebut adalah untuk menentukan barang yang diinginkan kedua belah pihak, seolah-olah barang yang dimaksud ada di hadapannya. Dengan cara ini diharapkan tidak terjadi perselisihan antar para pihak mengenai barang tersebut ketika batas waktunya tiba. Maka akad salam adalah solusinya, memungkinkan bisnis yang dijalankan petani untuk beroperasi tanpa tekanan dan dengan masalah yang minimal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun