Pendidikan di Indonesia menerapkan sistem pendidikan nasional melalui Undang-Undang No.20 Tahun 2003. Salah satu programnya ialah Wajib Belajar 12 Tahun yakni jenjang Sekolah Dasar (SD) 6 tahun, Menengah Pertama (SMP) dan Atas (SMA) masing-masing selama 3 tahun. Akan tetapi perubahan terjadi saat pandemi COVID-19 masuk ke Indonesia menyebabkan beberapa pembaharuan terjadi pada sistem pendidikan yang diberikan. Pelaksanaan pembelajaran yang biasanya menggunakan metode tatap muka berubah menjadi pembelajaran jarak jauh dengan menggunakan bantuan perantara berupa aplikasi semenjak 16 Maret 2020.
Dampak Sekolah daring
Sekolah dengan berbasis daring ini telah berjala 1 tahun. Akan tetapi, sistem pembelajaran ini tidaklah mudah dijalankan, karena banyak kendala yang dialami oleh siswa maupun guru. Hal ini disebabkan tidak semua peserta didik memiliki fasilitas yang sama seperti ponsel, leptop, atau pun penunjang seperti kuota internet. karena masalah kesenjangan ekonomi yang semakin besar.
Seperti yang diketahui, beberapa wilayah Indonesia masih belum terjangkau oleh jaringan internet yang baik, hal ini mengakibatkan terhambatnya aktivitas belajar mengajar.Â
Selain itu, penyampaian materi menjadi lebih sulit dimengerti pelajar. Dengan demikian pembelajaran jarak jauh atau daring ini kurang efektivitas walaupun melibatkan orang tua sebagai pembimbing di rumah, sebab beberapa orang tua memliki kesibukan masing-masing. Di samping itu sering kali siswa-siswi mengeluh akan jenuhnya pembelajaran via aplikasi, karena interaksi antar siswa dan guru sangatlah berpengaruh dalam proses belajar.
Perubahan ini mengakibatkan siswa menjadi malas berpikir, mereka cenderung tergantung kepada ketersediaan akses web atau laman elektronik seperti Google.Â
Tidak jarang sebagian dari mereka melakukan kecurangan dalam pengerjaan tugas ataupun ujian. Sebagian pelajar pun menganggap bahwa pembelajaran dengan metode daring ini membuat mereka sulit untuk bersosialisasi dengan baik. Banyak kasus pelajar dengan etika buruk ketika jam pelajaran berlangsung pun diluar jam pelajaran. Dalam situasi ini juga berpotensi akan meningkatnya angka putus sekolah karena anak memilih bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya.
Akan tetapi, tidak hanya pelajar saja yang merasakan dampaknya, tenaga pengajar pun merasakan demikian. Kesulitan akan adaptasi mengajar dengan sistem daring yang menggunakan teknologi. Dikarenakan gagap akan teknologi atau gaftek sering terjadi pada guru senior, tentunya hasil pembelajaran tidak maksimal.Â
Mengajar daring pun lebih sulit membuat anak didik mengerti dibandingkan pembelajaran tatap muka atau luring. Sistem ini pun mengakibatkan dua kali lebih melelahkan dibandingkan sekolah seperti biasa. Kenakalan peserta didik menjadi pr tersendiri untuk para guru, seperti halnya banyak yang tidak mengerjakan tugas, jarang menghadiri kelas via ZOOM, Google meet, dan aplikasi sejenisnya, pun ketika ujian berlangsung.
Dari balik sederet dampak negatif dari Sekolah Daring, ada beberapa hal positif yang bisa kita ambil, yaitu. Guru maupun peserta didik mendapatkan pengetahuan lebih tentang teknologi.Â
Munculnya ide yang kreatif dan inovatif dari guru juga peserta didik. Wali kelas dan orang tua murid memiliki hubungan silaturahmi yang lebih baik, karena program home visit atau kunjungan guru ke rumah anak didik. Orang tua juga lebih mudah memantau anaknya saat belajar. Tidak bisa diabaikan juga bahwa selama sekolah daring, biaya transportasi menjadi lebih hemat lantaran anak tak perlu pergi ke sekolahan, anak juga tidak jajan sembarangan.