Rumah tangga pasangan ini sungguh penuh dengan drama. Bahkan sejak awal keduanya berkenalan, selalu saja ada drama yang terselip di dalamnya.
"Aku benci puisimu!" ucap Angga sambil menghentakkan gelas kosongnya di meja samping kulkas.
Maya yang baru turun dari lantai dua, terlihat sudah rapi dengan penampilannya yang seperti mau pergi. Ia pun mendekat dan membuka kulkas untuk mengambil segelas kopi dinginnya, "Puisi? Puisi yang mana?" tanyanya santai.
"Yang kau tulis kemarin siang di buku resep."
Angga yang dulunya seperti batu nisan di kuburan, kini sudah seperti kebakaran jenggot. Sementara Maya, sambil meminum kopinya, masih bertanya dengan tenang, "Kenapa, cemburu?"
"Aku tak suka kau bawa-bawa telur dadar, May! Telur dadar itu kesukaanku."
"Suka-suka aku. Aku yang nulis kok!"
"Jangan sampai sejengkal pun puisi itu keluar dari dapur! Aku tak suka kau ungkit pacar masa lalumu itu di atas panggung!"
"Cemburu?"
"Dulu kau yang ngejar-ngejar aku, sekarang kelakuanmu seenak jidat." ujar Angga dengan nada kian meninggi. Sedang Maya meletakkan gelas kopinya di meja, dan mulai melangkah ke arah pintu keluar. "Eh May! Mau ke mana kau?"
Tapi Maya tak menjawab, ia langsung menyabet tasnya di atas sofa dan tetap melangkah menuju pintu sambil mengibaskan rambut panjangnya.
"Tunggu dulu! Aku minta hotspot, kuota ku habis."
Mendengar ucapan suaminya, Maya menghentikan langkah. Tanpa menoleh dan berkata-kata, ia melempar ponselnya ke atas sofa, dan beranjak pergi sambil menahan tawa.(*)
Baca di sini, puisi beraroma telur dadar : Meminta Kembali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H