Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kereta Termanis (2)

21 Desember 2024   12:28 Diperbarui: 21 Desember 2024   12:28 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kereta yang manis (sumber : tempo.co)

Aku melihat air mata di sepanjang perjalanannya. Tapi, aku tak dapat melakukan apapun untuk menghentikannya. Dia menangis, dia benar-benar menangis seorang diri di atas kereta termanis yang dulu selalu kunikmati bersamanya.

Seandainya saja dia tahu, bahwa saat ini aku masih duduk di sampingnya. Aku tak pernah mengingkari janjiku untuk mencintainya lebih dari selamanya.

"Aku di sini, Angga. Aku masih Maya yang dulu, yang selalu ingin jadi orang yang paling memahami kamu."

Semua yang ku ucapkan sekarang sudah tak ada gunanya lagi, semuanya percuma. Karena suamiku tak dapat mendengar suaraku lagi. Begitupun aku, aku punya batas waktu. Aku tak mungkin mengawasi dia seterusnya di dunia.

Aku benar-benar ingin tahu, apa yang saat ini dipikirkannya. Mengapa dia menangis, apa kepergianku telah membuat hatinya begitu terluka? Oh Tuhan, mengapa harus Kau berikan luka yang dalam di hatinya?

Suamiku sama sekali tak pantas menerima luka itu. Jika dulu dia pernah menyakiti hatiku, aku yakin semua itu tanpa sengaja dilakukannya. Aku percaya dia lelaki yang baik. Aku masih percaya itu, sampai kapanpun.

Selama hidup bersamanya, dia telah berhasil meyakinkanku bahwa tak ada satupun hal yang disembunyikannya dariku. Ada saatnya dia juga selalu bermanja-manja padaku.

"Aku kangen kamu, Angga. Aku ingin memeluk kamu lagi."

Aku masih duduk di sampingnya, bersama air mata ini, air mata kami berdua. Masih terus ku pandangi dirinya, aku dapat merasakan kekacauan di benaknya. Sungguh aku ingin mengecup pipinya, tapi aku tidak bisa.

Perlahan dia melepas kaca matanya, dan mengusap air mata itu dengan kasar. "Kenapa kamu tinggalin aku, May? Kamu tega banget sama aku. Aku ngga bisa May, aku ngga sanggup kalau ngga ada kamu."

Dan lagi-lagi air mata merembes dari kedua mata itu. Bahkan lebih dari sebelumnya, air mata itu lebih banyak, sungguh terasa begitu tulus. Air mata itu untukku. Untuk seorang istri bodoh yang mengidap kanker ganas ketika sedang mengandung buah cintanya.

Angga tak hanya kehilangan diriku, tapi juga kehilangan anak kami. Tapi aku, tak ingin dia kehilangan harapan untuk melanjutkan hidup. Meski tanpa adanya aku, dan tanpa impian akan bahagianya keluarga kecil yang kami bangun.

"Maafin aku, Angga. Aku juga ngga mau ninggalin kamu secepat ini. Aku mohon berhenti, jangan nangis lagi! Aku akan selalu tunggu, sampai suatu saat nanti kita bisa sama-sama lagi."

Ternyata usiaku tidak panjang, padahal aku baru saja merasakan kebahagiaan yang sebelumnya begitu sulit ku temukan. Kebahagiaan yang ternyata, hanya dapat ku temukan pada Angga.

Sebelum kami menikah, dia pernah bilang kalau hari-harinya terasa lebih hidup semenjak mengenalku. Sejak saat itu juga, dia merasa dirinya berharga, dan aku juga yang menyadarkannya bahwa dirinya begitu layak dicinta.

"Aku sendirian, May. Aku duduk di atas kereta ini, kereta kita. Sekarang aku cuma bisa mengenang kamu. Aku menyesal sudah menyia-nyiakan waktu kebersamaan kita yang singkat."

Mungkin sebaiknya aku mulai belajar dari sekarang untuk menjauh darinya. Semakin aku melihatnya menangis, semakin aku tak sanggup untuk pergi selamanya darinya.

Aku.. bahkan sampai akhirnya aku dipanggil pulang, aku belum sempat mengucapkan terima kasih padanya, karena dia telah berusaha sepenuh hati menerima dan mencintai segala kekuranganku.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun