Dan lagi-lagi air mata merembes dari kedua mata itu. Bahkan lebih dari sebelumnya, air mata itu lebih banyak, sungguh terasa begitu tulus. Air mata itu untukku. Untuk seorang istri bodoh yang mengidap kanker ganas ketika sedang mengandung buah cintanya.
Angga tak hanya kehilangan diriku, tapi juga kehilangan anak kami. Tapi aku, tak ingin dia kehilangan harapan untuk melanjutkan hidup. Meski tanpa adanya aku, dan tanpa impian akan bahagianya keluarga kecil yang kami bangun.
"Maafin aku, Angga. Aku juga ngga mau ninggalin kamu secepat ini. Aku mohon berhenti, jangan nangis lagi! Aku akan selalu tunggu, sampai suatu saat nanti kita bisa sama-sama lagi."
Ternyata usiaku tidak panjang, padahal aku baru saja merasakan kebahagiaan yang sebelumnya begitu sulit ku temukan. Kebahagiaan yang ternyata, hanya dapat ku temukan pada Angga.
Sebelum kami menikah, dia pernah bilang kalau hari-harinya terasa lebih hidup semenjak mengenalku. Sejak saat itu juga, dia merasa dirinya berharga, dan aku juga yang menyadarkannya bahwa dirinya begitu layak dicinta.
"Aku sendirian, May. Aku duduk di atas kereta ini, kereta kita. Sekarang aku cuma bisa mengenang kamu. Aku menyesal sudah menyia-nyiakan waktu kebersamaan kita yang singkat."
Mungkin sebaiknya aku mulai belajar dari sekarang untuk menjauh darinya. Semakin aku melihatnya menangis, semakin aku tak sanggup untuk pergi selamanya darinya.
Aku.. bahkan sampai akhirnya aku dipanggil pulang, aku belum sempat mengucapkan terima kasih padanya, karena dia telah berusaha sepenuh hati menerima dan mencintai segala kekuranganku.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H