Aku melihat air mata di sepanjang perjalanannya. Tapi, aku tak dapat melakukan apapun untuk menghentikannya. Dia menangis, dia benar-benar menangis seorang diri di atas kereta termanis yang dulu selalu kunikmati bersamanya.
Seandainya saja dia tahu, bahwa saat ini aku masih duduk di sampingnya. Aku tak pernah mengingkari janjiku untuk mencintainya lebih dari selamanya.
"Aku di sini, Angga. Aku masih Maya yang dulu, yang selalu ingin jadi orang yang paling memahami kamu."
Semua yang ku ucapkan sekarang sudah tak ada gunanya lagi, semuanya percuma. Karena suamiku tak dapat mendengar suaraku lagi. Begitupun aku, aku punya batas waktu. Aku tak mungkin mengawasi dia seterusnya di dunia.
Aku benar-benar ingin tahu, apa yang saat ini dipikirkannya. Mengapa dia menangis, apa kepergianku telah membuat hatinya begitu terluka? Oh Tuhan, mengapa harus Kau berikan luka yang dalam di hatinya?
Suamiku sama sekali tak pantas menerima luka itu. Jika dulu dia pernah menyakiti hatiku, aku yakin semua itu tanpa sengaja dilakukannya. Aku percaya dia lelaki yang baik. Aku masih percaya itu, sampai kapanpun.
Selama hidup bersamanya, dia telah berhasil meyakinkanku bahwa tak ada satupun hal yang disembunyikannya dariku. Ada saatnya dia juga selalu bermanja-manja padaku.
"Aku kangen kamu, Angga. Aku ingin memeluk kamu lagi."
Aku masih duduk di sampingnya, bersama air mata ini, air mata kami berdua. Masih terus ku pandangi dirinya, aku dapat merasakan kekacauan di benaknya. Sungguh aku ingin mengecup pipinya, tapi aku tidak bisa.
Perlahan dia melepas kaca matanya, dan mengusap air mata itu dengan kasar. "Kenapa kamu tinggalin aku, May? Kamu tega banget sama aku. Aku ngga bisa May, aku ngga sanggup kalau ngga ada kamu."