Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Love Pilihan

Lonely Marriage, Bahagia di Luar Tersiksa di Dalam

27 Oktober 2024   12:12 Diperbarui: 27 Oktober 2024   12:19 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada semacam quotes konyol yang sejalan dengan kondisi saya saat ini, seperti inilah bunyinya :

"Waktu kecil : Gue lihat orang dewasa pada nikah.
Setelah dewasa : Gue lihat anak kecil pada nikah."

Yang dimaksud "anak kecil" di sini, merujuk pada mereka yang berusia lebih muda atau jauh di bawah usia saya saat ini. Quotes di atas populer dalam grup angkatan 90an.

Sebenarnya, saya cukup ragu untuk menulis topik pilihan kali ini yang mengusung tema Lonely Marriage. Maklum, saya belum pernah mengalami hidup dalam sebuah pernikahan. Kalau ikut menulis perihal ini, takutnya nanti dibilang sok tahu.

Namun, setelah membaca artikel dari beberapa teman kompasianer yang membahas tema ini, maka saya putuskan untuk ikut menulis.

Terkadang saya heran, sekaligus kagum pada mereka yang berani mengambil keputusan untuk menikah di usia yang terbilang masih sangat muda. Tentu saja mereka punya alasan masing-masing di balik keputusannya menikah muda.

Dan saya sangat mengapresiasi keberanian mereka dalam mengambil keputusan itu. Sebab yang usianya sudah matang, belum tentu berani untuk melangkah ke jenjang tersebut.

Menurut saya pribadi, menikah adalah menyatukan dua kepala yang bertemu saat keduanya sudah sama-sama besar. Artinya, baik si lelaki maupun perempuan masing-masing sudah melewati fase kehidupannya sejak kecil hingga beranjak dewasa, dengan segala kisah hidupnya masing-masing.

Dan pada fase tersebut, ada begitu banyak hal positif dan negatif yang telah terjadi, sehingga dapat mempengaruhi pembentukan karakternya masing-masing. Ada tipe yang mengedepankan logika, baru perasaan, namun ada pula yang sebaliknya.

Terlepas dari masalah usia, setiap insan yang berani melangkah ke jenjang pernikahan sudah seharusnya sangat memahami akan segala konsekuensi yang ada dari ikatan pernikahan yang hendak dijalaninya.

Yang menikah atas dasar sama-sama cinta saja, belum tentu menjamin kebahagiaan. Apalagi yang menikah karena terpaksa, entah karena dijodohkan, tergiur harta calon pasangan, sudah kepentok usia, atau bahkan hanya ingin mendapat status.

Lonely Marriage dapat terjadi pada siapapun, di mana salah satu pihak atau mungkin kedua-duanya (suami dan istri) terlihat baik-baik saja atau cenderung bahagia, namun sebenarnya merasa tersiksa di dalam batinnya. Ada kesepian di dalam hatinya, ketika apa yang diharapkan dari pernikahan itu tak sesuai dengan kenyataan.

Biasanya, lonely marriage terjadi karena seseorang tidak benar-benar mengenal karakter pasangannya. Selain itu, pengaruh dari luar juga menjadi alasan terjadinya lonely marriage. Di mana seseorang lebih peduli apa kata orang lain, dibanding apa kata pasangannya.

Menghindari sikap "tidak mau tahu", sangat diperlukan untuk mencegah terjadinya lonely marriage. Contoh; seorang suami merasa sudah menjalankan perannya dalam mencari nafkah/ bekerja, sehingga tidak mau tahu dengan urusan rumah tangga lainnya seperti urusan anak dan dapur.

Jika suami bersikap "tidak mau tahu", maka si istri yang merasa harus menanggung beban rumah tangganya sendiri, akan sangat rentan mengalami kondisi lonely marriage.

Untuk itu, semua orang tahu bahwa perbaikan komunikasi menjadi kunci utama dan solusi terbaik di saat pasangan suami istri merasa hidup dalam kondisi lonely marriage. Semua masalah harus dikomunikasikan dengan sejujurnya, meski kejujuran memang lebih sering terdengar menyakitkan.

Maka di sinilah, dua kepala yang bertolak belakang tadi harus berusaha keras membuang egonya, dan bertemu dalam satu titik kesepakatan atau jalan keluar, tanpa harus ada yang merasa menjadi korban, dan merasa kalah atau menang. Selama komunikasi ini terjaga dan berhasil, maka semua masih dapat diperbaiki. Dimulai dari hal yang kecil, untuk membangun ikatan emosional yang lebih kuat lagi.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun