Banyak wanita yang tertarik pada Dias, sebab ia dikenal sebagai pria yang cerdas dan penuh karisma, di usianya yang tengah menginjak tiga puluhan. Meski begitu hatinya telah terpaut pada satu wanita saja, ialah Larisa.
Tak hanya cantik, Larisa juga berpendidikan tinggi dan berasal dari keluarga terpandang. Setelah setahun bersama, mereka pun menikah dalam pesta yang mewah.
Dias merasa hidupnya sempurna. Ia memiliki istri yang ia cintai, bisnis yang kian berkembang, dan kehidupan yang nyaman. Hingga suatu pagi, sebuah tragedi mengubah segalanya.
Dalam perjalanannya ke kantor, Dias mengalami kecelakaan. Dan karena itu, ia harus kehilangan kemampuannya untuk melihat. Meski berbagai upaya telah dilakukan, namun dokter memastikan bahwa dirinya buta permanen.
Larisa terlihat semakin jarang mengunjunginya di rumah sakit. Ketika akhirnya Dias diizinkan untuk pulang, Larisa jadi berubah drastis. Hubungan mereka mendingin, percakapan mereka selalu singkat dan datar. Bahkan Larisa tampak tidak sepenuh hati lagi dalam mengurus Dias.
"Aku ngga bisa terus begini, Yas."
Dias menghela nafas. "Ngga bisa begini, gimana maksud kamu?"
"Aku ngga siap untuk mengurus kamu seumur hidup. Aku butuh orang yang bisa menemani aku seperti dulu, yang sempurna. Aku minta maaf, tapi itu kenyataannya. Dan aku mau kita pisah."
Sungguh Dias hancur mendengar kata-kata itu. Ia tak pernah menyangka Larisa akan meninggalkannya pada saat-saat terberat dalam hidupnya.
"Jadi, kamu mau pergi karena sekarang aku cacat?" suaranya bergetar.
"Aku cuma ingin hidup normal seperti dulu, Yas."
Dias menyerah setelah mendengar jawaban Larisa. Ia tak ingin berdebat, memohon, apalagi berusaha menahan Larisa untuk tetap tinggal. Dias pun mengabulkan keinginan Larisa untuk pergi dari kehidupannya.
Hari-hari berikutnya Dias jalani dalam kesepian. Ia mengasingkan diri dari teman-temannya, jarang berkumpul dengan keluarga besar, dan hanya tinggal bersama seorang perawat laki-laki yang membantunya mengurus segala keperluannya di rumah.
Sedang bisnis yang selama ini ia punya, dipercayakan kepada sang adik. Dunia yang dulu ia bangun dengan susah payah, kini terasa hampa.
Suatu sore saat Dias sedang menikmati semilir angin di kursi taman rumahnya, terdengar suara yang begitu familiar memanggil namanya.
Dias menajamkan pendengarannya, dan ia dapat merasakan seseorang telah mendekat kepadanya.
"Apa kabar Yas?"
"Raya.. ini benar Raya?" Dias mengangkat kedua tangannya, memastikan keberadaan wanita yang berdiri di depannya.
Wanita itupun meraih kedua tangan itu. "Iya, ini aku Raya. Aku dengar kamu kecelakaan. Aku ke sini untuk jenguk kamu."
Raya adalah wanita yang dulu pernah ia tolak. Wanita sederhana yang selalu berada di sisinya, bahkan saat ia mengejar Larisa. Namun, karena penampilan dan gaya hidup Raya tidak sebanding dengan Larisa, Dias lantas menolak Raya.
"Aku.. aku ngga tau harus bilang apa. Hidup aku sudah hancur, Ray."
Kini Raya telah duduk di sampingnya. "Tapi kamu ngga sendirian, Yas. Ada aku di dekat kamu."
"Bahkan aku ngga bisa melihat lagi, Raya."
Dengan tatapan yang begitu dalam, Raya memandang wajah teduh Dias. "Bagi aku, kamu tetap sama. Orang yang baik, yang penuh semangat, yang selalu bisa bikin orang-orang suka sama kamu. Keadaan kamu ini, ngga akan pernah merubah semua itu."
"Tapi aku pernah nyakitin kamu, Ray. Kenapa kamu masih mau datang ke sini?"
"Karena.. cinta yang tulus ngga pernah meminta balasan. Aku sayang sama kamu bukan karena siapa kamu, tapi karena hati kamu. Dan meskipun dulu kamu sakitin aku, perasaan aku ngga pernah hilang."
Mendengar kata-kata Raya, Dias begitu terharu hingga air mata terlihat di sudut matanya. Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, Dias merasa ada yang peduli terhadap dirinya dengan tulus. Bukan karena penampilannya, bukan karena statusnya, tapi karena dirinya yang sebenarnya.
"Maafin aku, Raya! Hatiku sudah buta selama ini. Dan mungkin karena itu, sekarang penglihatanku benar-benar diambil."
Sekejap air mata Raya menetes. "Aku ngga butuh maaf kamu, Yas. Aku mau kamu tau bahwa ada orang yang cinta sama kamu, tanpa syarat apapun. Dan kalau kamu izinkan, aku akan ada di sini untuk kamu."
"Aku ngga tau gimana caranya membalas kebaikan kamu, Ray."
"Kamu ngga perlu membalas apapun, Yas. Cukup biarin aku ada di sini untuk kamu."
Sejak saat itu, hari-hari Dias berubah. Bersama Raya, ia mulai menerima dirinya yang baru. Raya tidak hanya mencintainya, tapi juga membantunya bangkit kembali.
Cinta Raya yang tulus menjadi penyembuh lukanya yang terdalam. Dan pada akhirnya, Dias menyadari bahwa cinta sejati bukanlah tentang kesempurnaan, tetapi tentang menerima seseorang apa adanya, dalam keadaan terbaik maupun terburuk.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H