Dekat sebuah gedung perkantoran yang berada di sudut kota itu, seorang lelaki lusuh berdiri dengan tatapan kosong. Entah benar atau tidak, tapi ia sering menyebut bahwa dirinya bernama Mamat.
Oleh orang-orang di sekitarnya, ia selalu disebut orang gila. Rambutnya kusut, bajunya robek, dan ia berbicara sendiri hampir sepanjang waktu.
Setiap hari, di depan gedung itu Mamat menunggu seorang gadis. Gadis cantik yang bekerja di lantai atas sebagai staf perusahaan, Atika namanya. Setiap hari Atika selalu menyisihkan waktu beberapa menit untuk berbicara dengan Mamat.
Pagi itu saat Atika berjalan menuju keluar gedung, Mamat melambai sambil tersenyum. "Atika!" teriaknya.
"Hai Mat! Gimana kabar kamu hari ini?"
Mamat melirik langit sebentar lalu mengangkat bahunya. "Langitnya biru, awan-awan itu lagi ngumpet. Mereka takut patah hati."
Atika tertawa kecil mendengar jawaban aneh Mamat. Ia tahu bahwa meskipun Mamat terlihat gila bagi orang lain, tapi ada sisi lain dalam dirinya yang puitis meski sulit dimengerti.
"Kamu selalu punya cara yang aneh untuk melihat dunia," ucap Atika yang duduk di bangku taman seberang gedung.
"Aku bisa melihat dunia lewat kaca yang retak. Tapi kamu.. kamu bikin kacanya jadi jernih." jawab Mamat yang sudah duduk di sebelah Atika.
Atika tahu bahwa lelaki itu, dengan segala kekacauan mentalnya, juga memiliki perasaan yang lembut seperti orang normal. Orang-orang di sekitar mereka menganggap Atika aneh, karena berani berbicara dengan orang seperti Mamat.
"Hari ini kamu sudah makan, Mat?" tanya Atika sambil membuka tasnya.
"Belum. Tapi aku ngga lapar. Cintaku padamu sudah membuatku kenyang. Haha haha."
Atika ikut tertawa mendengar ucapan itu. Ia mengeluarkan sebuah roti dari tasnya, "Ini buat kamu, dimakan ya Mat!"
Lantas Mamat menerimanya, "Kalau aku makan ini, apa kamu mau jadi istriku? Hahaha."
Atika menelan ludah, matanya membulat mendengar pertanyaan itu. "Aku belum pantas menjadi seorang istri, Mamat. Aku harus banyak belajar untuk itu." sebuah senyuman menutup ucapannya.
"Hahaha. Kamu adalah cahaya dalam kegelapanku." ucap Mamat asal.
Banyak hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Atika masih selalu menyisihkan waktu untuk berbicara dengan Mamat. Tentu saja hal ini membuat teman-teman Atika semakin heran.
Suatu hari, seorang rekan kerja Atika yang bernama Bima merasa sangat risih melihat kebersamaan Atika dan Mamat. Hal itu karena Bima sudah lama menyukai Atika.
"Tika, kenapa sih kamu seneng banget ngomong sama orang gila kayak dia? Dia ngga pantas dapetin perhatian kamu. Kamu cuma buang-buang waktu."
"Mamat bukan orang gila. Dia itu, cuma lagi kehilangan arah."
"Bahkan dia ngga ngerti sama apa yang dia omongin. Kamu harusnya hati-hati, orang kayak dia itu bahaya."
"Orang-orang kayak dia ngga selalu seperti yang kita pikirin. Mereka cuma butuh orang yang percaya kalau mereka masih punya perasaan."
Sore itu, seperti biasa Atika menemui Mamat di taman. Namun kali ini Mamat tampak berbeda. Ia tidak ceria seperti biasanya. Tatapannya kosong, seperti ada sesuatu yang mengganjal di benaknya.
"Ada apa, Mat?"
Mamat menatap Atika lama hingga akhirnya ia berbicara. "Aku dengar orang-orang bilang kalau aku gila. Apa menurut kamu itu benar?"
Atika terkejut dengan pertanyaan itu. Ia tahu terkadang Mamat menyadari apa yang orang katakan tentangnya, tapi mendengarnya langsung dari mulut Mamat membuatnya merasa pilu. "Ngga, Mat. Buktinya, aku ngga pernah berpikir kayak mereka. Kamu itu spesial!"
"Aku.. aku mau kayak orang-orang yang hidup normal. Aku juga ingin jatuh cinta. Tapi, gimana caranya? Haha haha."
Atika menahan air matanya. Ia dapat merasakan bahwa Mamat memiliki perasaan yang tulus, bahkan mungkin lelaki itu dapat mencintai dengan tulus.
"Kamu ngga perlu jadi seperti orang lain. Kamu cukup jadi diri kamu sendiri."
Mamat menunduk, dan untuk pertama kalinya ia meraih tangan Atika untuk digenggamnya. "Kamu mau ngga, nunggu aku? Sampai aku bisa menjadi laki-laki?"
"Iya, Mamat.. Aku akan tunggu kamu ya.."
Cinta yang tumbuh dalam hati mereka, memang cinta yang tak biasa, kebersamaan itu terjalin dalam hening yang dipenuhi dengan harapan. Di batas antara kewarasan dan mungkin suatu kegilaan, di mana cinta telah menemukan tempatnya sendiri.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H