"Belum. Tapi aku ngga lapar. Cintaku padamu sudah membuatku kenyang. Haha haha."
Atika ikut tertawa mendengar ucapan itu. Ia mengeluarkan sebuah roti dari tasnya, "Ini buat kamu, dimakan ya Mat!"
Lantas Mamat menerimanya, "Kalau aku makan ini, apa kamu mau jadi istriku? Hahaha."
Atika menelan ludah, matanya membulat mendengar pertanyaan itu. "Aku belum pantas menjadi seorang istri, Mamat. Aku harus banyak belajar untuk itu." sebuah senyuman menutup ucapannya.
"Hahaha. Kamu adalah cahaya dalam kegelapanku." ucap Mamat asal.
Banyak hari berlalu dengan rutinitas yang sama. Atika masih selalu menyisihkan waktu untuk berbicara dengan Mamat. Tentu saja hal ini membuat teman-teman Atika semakin heran.
Suatu hari, seorang rekan kerja Atika yang bernama Bima merasa sangat risih melihat kebersamaan Atika dan Mamat. Hal itu karena Bima sudah lama menyukai Atika.
"Tika, kenapa sih kamu seneng banget ngomong sama orang gila kayak dia? Dia ngga pantas dapetin perhatian kamu. Kamu cuma buang-buang waktu."
"Mamat bukan orang gila. Dia itu, cuma lagi kehilangan arah."
"Bahkan dia ngga ngerti sama apa yang dia omongin. Kamu harusnya hati-hati, orang kayak dia itu bahaya."
"Orang-orang kayak dia ngga selalu seperti yang kita pikirin. Mereka cuma butuh orang yang percaya kalau mereka masih punya perasaan."