"Kenapa? Apa Bapak ngga suka sama saya?"
"Perasaan itu ada, Dil. Tapi kita harus realistis, apa usia kita pantas untuk itu?"
"Kadang cinta ngga peduli pada usia. Apa yang kita rasakan, itulah kenyataan."
Sejak saat itu, mereka mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Terkadang, perasaan yang terlarang justru dapat membawa kebahagiaan yang mendalam.
Beberapa bulan telah berlalu, Rian mulai curiga melihat perubahan sikap Dila dan ayahnya, ia pun memutuskan untuk mengajak Dila berbincang di kafe. "Dil, akhir-akhir ini lo kelihatan beda, lebih tertutup dari biasanya."
Dila menunduk, memainkan sendok di dalam gelas kopinya. "Beda? Beda gimana, Yan?"
"Gue ngga tau pasti, tapi gue bisa ngerasa. Lo sering ke rumah, tapi sekarang kelihatannya lo dan bokap gue jadi lebih dekat. Ada sesuatu yang kalian tutupin?"
Dila merasakan jantungnya berdegup kencang. "Rian, gue ngga tau harus bilang apa. Gue ngga mau lo salah paham."
"Jadi memang ada yang disembunyiin? Apa lo dan bokap gue...?"
Dila mencoba menenangkan diri. "Rian, gue ngga pernah berniat untuk nyakitin lo atau siapapun. Tapi, gue merasa dekat sama Pak Arman. Mungkin lebih dari yang seharusnya. Gue tau ini salah, tapi gue ngga bisa bohong sama perasaan gue. Gue suka sama bokap lo, Yan."
Malam itu, saat Arman sedang membaca, Rian tiba-tiba masuk ke ruang tamu dengan ekspresi dingin. "Kita harus ngobrol, Pa! Ini soal Dila."