Mohon tunggu...
Novia Respati
Novia Respati Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wirausaha

Senang menulis dan memasak 😊

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Serat-Serat Luka (2)

17 September 2024   10:28 Diperbarui: 17 September 2024   11:57 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: Pixabay/Nghia Le

Baca sebelumnya : Serat-serat Luka 

Hana duduk di meja makan yang terletak di sudut dapur, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Pikirannya tak henti berputar mengingat pertemuannya dengan Aditia di ruangan manajer waktu itu.

Suara panci dan wajan yang berdenting terdengar di latar belakang, namun fokus Hana berada jauh dari hiruk-pikuk dapur.

Hana masih memikirkan sedikit perbincangannya dengan Aditia waktu itu. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya kepada siapapun, terutama kepada Aditia. Namun, saat ini hatinya terasa begitu hampa, seolah ada lubang besar menganga di dalam dirinya.

Tanpa disadari, air mata menetes di pipinya. Hana cepat-cepat mengusapnya dengan punggung tangan. Jelas ini bukan pertama kalinya ia menangis karena lelaki itu, dan Hana juga yakin tangisan ini bukan yang terakhir kalinya.

"Hana, ada apa?" suara dari belakangnya mengagetkan. Ada Nisa berdiri di sana memandang heran, "Kamu ngga apa-apa?"

Hana pun tersenyum, "Aku ngga apa-apa, Nis. Cuma capek aja."

Nisa menatap ragu, "Kamu yakin? Kalau ada apa-apa, cerita aja ya Han!"

"Iya, aku tau. Makasih ya Nis." jawab Hana dengan suara yang berusaha terdengar tegar.

Nisa masih tampak tidak yakin, tapi dia memutuskan untuk tidak memaksa Hana untuk bercerita.

Setelah temannya itu pergi, Hana kembali terdiam. Perasaan bersalah mulai merayapi dirinya. Ia tahu ia tidak boleh terus larut dalam perasaan ini, tapi semakin ia mencoba melawan, semakin kuat perasaan itu menghantamnya.

Hari-hari berikutnya, Hana mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja lebih keras. Ia mencoba untuk tidak terlalu sering memikirkan Aditia, namun hal itu bukanlah hal yang mudah.

Setiap kali ia melihat Aditia, hatinya kembali berdetak lebih cepat, dan ia merasa semakin sulit untuk mengendalikan perasaannya.

Sementara itu, Aditia sendiri juga mulai merasa tersiksa oleh perasaannya. Setiap kali ia melihat Hana, ia merasakan penyesalan yang mendalam. Aditia tidak bisa menghilangkan bayangan wajah Hana setiap kali mereka bertemu. Ia sadar bahwa dirinya memiliki perasaan untuk Hana, meskipun ia berusaha sekuat tenaga untuk menolaknya.

Hari itu, setelah restoran tutup Aditia memutuskan untuk tinggal lebih lama di kantornya. Ia duduk di kursinya, menatap buku evaluasi Hana yang ada di hadapannya. Pikirannya melayang ke masa lalu, ketika hubungan mereka masih baik-baik saja. Tapi ia juga tidak bisa berhenti memikirkan apa yang salah di masa lalu, apa yang membuatnya pergi dan memilih orang lain.

Di saat yang sama, Hana sedang membereskan dapur, memastikan semua peralatan bersih dan siap digunakan besok pagi. Namun, pikirannya tidak berada di sana. Ia terus menerus memikirkan Aditia, merasakan campuran antara cinta dan kebencian yang begitu kuat.

"Aku harus gimana sekarang?" Hana menghela nafas, bergumam pada dirinya sendiri.

Tanpa disadari, langkah membawa dirinya ke ruangan manajer. Hana terkejut saat menemukan pintunya sedikit terbuka. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mendorong pintu itu dan melihat Aditia duduk sendirian di dalam.

Mereka saling memandang untuk beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Dalam tatapan itu, tidak ada kata-kata yang diucapkan, namun ada begitu banyak hal yang ingin mereka sampaikan.

Suara Hana memecah keheningan, "Adit, kita.. kayaknya kita harus ngomong."

Aditia pun mengangguk, "Aku tau. Duduk Han!"

Hana menarik napas dalam-dalam sebelum duduk di kursinya. Tangannya terasa bergetar, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. "Dit, aku ngga bisa terus-terusan kayak gini. Aku nggak bisa terus menghindar dan pura-pura kalau semuanya baik-baik aja. Karena nyatanya, semuanya ngga baik-baik aja."

"Aku tau, Hana. Aku minta maaf. Aku tau kalau maaf ngga akan cukup untuk menghapus semua sakit hati kamu. Tapi aku benar-benar menyesal."

"Minta maaf?" Hana tertawa pahit. "Maaf itu ngga akan mengubah apa-apa. Kamu udah nikah, dan aku... aku ngga bisa terus membohongi diri aku sendiri."

Aditia merasakan hatinya hancur mendengar kata-kata Hana. Ia tahu bahwa apa pun yang ia katakan, tidak akan pernah bisa memperbaiki keadaan.

"Aku tau. Aku ngga punya hak untuk meminta kamu memaafkan aku, tapi.. Hana, aku juga ngga bisa bohong lagi. Aku jatuh cinta sama kamu."

Kalimat itu justru melukai Hana lebih dari apapun yang pernah ia rasakan. "Tapi, kenapa dulu kamu pergi gitu aja? Kamu ninggalin aku tanpa aku tau apa salah aku."

Aditia tak bisa menjawab. Ia hanya bisa menatap Hana dengan perasaan bersalah yang begitu dalam. "Aku.. aku bodoh, Han. Aku salah, harusnya aku lebih bisa menghargai kamu, menghargai hubungan kita dan ngga menganggap semua itu main-main."

Hana menggigit bibirnya, berusaha menahan isak tangisnya. "Dan sekarang, apa yang kamu mau? Walaupun aku maafin kamu, tapi aku ngga bisa ngelupain semua sakit hati yang kamu kasih buat aku."

"Aku nggak tau, Hana. Yang pasti aku menyesal, dan sekarang aku ngga bisa berhenti mikirin kamu. Dan rasanya juga ngga adil kalau aku meminta kamu untuk terus menunggu aku."

Hari-hari masih terus berlanjut, sejak perbincangan keduanya waktu itu, kini Hana dan Aditia justru semakin akrab. Mereka memilih untuk mengikuti alur yang membawa hubungan mereka dan berdamai dengan masa lalu.

Hingga akhirnya Aditia tak bisa lagi menahan diri, dan menjadikan Hana sebagai kekasih gelapnya. Hana pun rela menerima keadaan itu, yang terpenting baginya adalah kini Aditia telah berada di sisinya, mengganti hari-hari sedihnya di masa lalu.

Dan sampai pada saatnya, Aditia dan Hana mengulangi indahnya satu malam yang dulu pernah mereka lalui bersama. Bahkan kali ini, keduanya tak dapat dikendalikan lagi oleh akal sehat.

Segenap kerinduan Hana yang tertahan selama bertahun-tahun, akhirnya tercurahkan malam ini. Ia berikan seluruh cintanya hanya untuk Aditia dan berkali-kali ia bisikkan kata cintanya di telinga lelaki itu.

"Makasih Han, aku selalu tau kalau kamu sayang sama aku. Makasih udah mau nunggu aku." di akhir kalimatnya, sebuah kecupan mendarat di dahi Hana, wanita yang kini tengah berada dalam rangkulan Aditia.

"Aku terlalu cinta sama kamu, Dit.. sampai rasa itu mengalahkan kebencian dan sakit hati aku. Makasih karna ada di sini buat aku." ucap Hana sambil mendongak menatap kedua mata Aditia, sekaligus menyentuh lembut wajah lelaki itu.

Keduanya saling memandang dalam, menyiratkan sejuta arti yang mungkin hanya dimengerti oleh mereka berdua. Aditia dan Hana menyadari dengan sepenuhnya bahwa apa yang mereka lakukan saat ini didasari oleh cinta, dan bukan untuk bersenang-senang.

Aditia dan Hana akan tetap bertahan menjalani hubungannya, meski di hadapan semua orang mereka harus kembali menyembunyikan hubungan itu.

Tak ada yang mampu menghalangi terjadinya hubungan terlarang itu. Karena semakin mengenal Hana, Aditia semakin jatuh cinta dan tenggelam dalam lautan asmaranya.

Mengapa tidak sejak dulu saja Aditia mencintai Hana? Justru sekarang setelah dirinya memiliki seorang istri, ia baru menyadari bahwa Hana adalah wanita yang patut mendapatkan cinta dan perlindungannya. Takdir telah mempermainkan mereka, memutar balikkan hati seseorang di saat yang sebenarnya sudah tidak tepat lagi.(*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun